Gue masih inget saat jaman SMP, saat teknologi belum secanggih sekarang. Dulu sudah ada ponsel dan benda itu sudah jadi benda mewah dan keramat kala itu. Gue ngga harus punya, tapi kalau ngga punya gue mati gaya. Maklum, alay jaman dulu.
Ponsel model antena dan yang terkenal adalah merk NOKI*, sebelum negeri S*msung menjajah dengan ponsel layar sentuhnya.
Berhubung ponsel itu barang mewah, otomatis aksesorisnya juga ikutan menyita cukup banyak uang jajan gue kala itu. PULSA! Untungnya gue bukan orang yang suka gonta ganti nomor, jadi cuma satu dan masih inget sampai sekarang walau nomornya sudah hilang entah kemana.
Setelah pulsa, otomatis fitur-fitur berikutnya mengikuti, misalnya SmS dan Telepon. Dulu belom ada fitur chat kayak sekarang dan biaya telepon ke ponsel pun lebih mahal ketimbang telepon di telepon umum. Pilihan terakhir, tinggal SMS. Murah bahkan kalau kirim 10 SMS bisa gratis berapa kalo gitu.
Selain jamannya ponsel merebak, jaman SMP juga jamannya Cinta Monyet bersemi. Bahasa Inggrisnya mah Puppy Love (monyet sama puppy, wkwkwk). Jamannya kenal-kenalan lewat sebar-sebar nomor telepon, bahkan gaya-gaya salah kirim SMS, padahal emang ada udang dibalik bakwan.
Dulu pernah kenalan sama orang dan beberapa tahun kemudian gue ketemu lagi sama doi. Hebatnya, gue ngga ngenalin itu orang. Pernah gue ceritain di bintang FTV.
Nah, ada juga yang kenalan namun sudah berumur. Kala itu, gue masih sekolah kelas 2 atau 3 SMP gitu. Orang yang dimaksud sudah berumur 27 tahun dan gue reflek, "ih tua amat!"
Sementara lawan SMS gue membalas dengan enteng "ah, 27 mah masih muda."
Saat itu gue ngga sadar dan masih bersikukuh bahwa kepala 20 merupakan sebuah neraka yang membawa gue pada sebuah masa yang disebut berumur atau kasarnya "TUA".
Waktu berganti, gue pun lupa akan refleksi ucapan gue tempo hari. Hingga sepuluh tahun kemudian, ya, hari ini gue menyadari, sudah lima tahun berjalan menikmati masa-masa umur kepala dua. Gelinya, tidak terbesit dipikiran gue bahwa umur sekarang itu bisa digantikan dengan kata "TUA". Oh tidak. Gue masih muda.
Gue pun tersadar, di masa "kepala dua" inilah gue merasakan kejayaan akan bidang-bidang yang gue jalani. Dimasa-masa inilah gue mengecap manis pahitnya hidup agar dapat direfleksikan lagi kepada yang lebih muda.
Terlebih, dimasa-masa inilah gue harus menentukan masa depan gue. Walau masih bisa gue rubah, tapi disinilah titik balik akan kesenangan dunia yang selama dua puluh tahun gue nikmati.
Disinilah gue harus berdiri diatas kaki gue sendiri. Disinilah juga, gue harus membuktikan pada diri sendiri untuk bisa jadi yang dibanggakan oleh diri sendiri, keluarga dan lingkungan.
Jadi, sekaranglah baru dimulai. Jalan hidup gue baru dimulai lagi disini. Dititik ini. Puncak 25.