22 Oktober 2012

~prolog~ (proyek tak terselesaikan)


“Ayah, kalau sudah besar aku mau jadi pendaki gunung seperti ayah ya..” ujar anak kecil berambut hitam berkilau tersebut sambil bergelayut manja di lengan ayahnya.

Ayah anak kecil itu tersenyum dan menggendong bocah kecil itu.

“Iya, Mea.. Ayah akan ajak kamu mendaki dan menunjukkan padamu betapa indahnya dunia ciptaan Tuhan ini dari atas gunung paling tinggi.” sahut ayah anak itu lalu mengangkat tinggi-tinggi anak kecil itu.

“Maka dari itu, kamu harus nurut sama Bunda dan Eyang ya. Nanti akan ayah bawakan bunga Edelweis hanya untuk anak ayah yang manis bernama Meary Catherine.”

“Haha, terima kasih ayah. Aku akan tunggu ayah!” anak yang bernama Meary itu menaruh harapan besar pada ayahnya dan penasaran dengan bentuk bunga edelweis itu sendiri.

Anak kecil yang masih belum tahu apa-apa itu tidak mengetahui bahwa sehari setelah berjanji padanya, ayah anak itu menghilang di puncak gunung Bromo saat pesawat radarnya kehilangan signal. Sampai berbulan-bulan jejaknya tidak diketemukan, ayah Mea dinyatakan meninggal.

Mea yang masih baru masuk SD tersebut kaget saat dirumahnya diadakan doa melepas kepergian ayahnya. Air mata Mea langsung saja meledak mendengar kabar yang mengejutkannya saat itu. Langsung saja ia berlari menghambur keluar rumah.

“Gak boleh!! Ayah gak boleh pergi ninggalin Mea... Ayah.. Pulang dong, yaaaah...” teriak Mea masih berlari.

Bunda Mea mengejar sambil berteriak, “ Mea... Jangan keluar, banyak kendaraan! Nanti kamu ketabrak!”

“Biarin! Me mau ikut ayah aja! Me mau ayah....”


Tiba-tiba terdengar klakson aneh yang ternyata bunyi klakson sebuah becak yang hampir saja menabrak Mea. Didalamnya terdapat seorang anak laki-laki yang sedang menumpang di becak tersebut. Melihat Mea yang menangis didepan becak yang ditumpanginya, anak laki-laki itu segera turun dari becaknya dan menghampiri Mea.

“Kenapa kamu menangis? Cup, cup, cup.. Jangan menangis lagi. Ada kakak disini, kamu tenang ya.” ujar anak laki-laki itu masih terus mengelus-elus rambut Mea.

“Ayah Me... Ayah Me udah gak ada kak... Me kangen ayah kak...” jawab Mea masih terisak-isak.

Anak itu menghapus air mata Mea dengan saputangan yang dikeluarkannya dari dalam tas. Sampai air mata Mea bersih, baru ia memasukkan lagi saputangan itu. Kini Mea bisa melihat dengan jelas ke arah wajah anak laki-laki itu.

Ternyata mata anak itu berwarna sedikit biru kehitaman dan kelembutan yang memancar dari mata anak kecil itu. Masih ada sisa-sisa tangisan Mea dan anak laki-laki itu masih memeluk Mea.

“Kamu jangan nangis lagi,ya.. Ada kakak disini...”

Seketika Mea merasakan ketenangan dan kehangatan seperti yang dirasakan saat bersama ayahnya. Mea memandang anak itu lagi dibalik sisa-sisa air matanya. Ia melihat bahwa anak laki-laki itu tampak cemas dengan keadaan Mea.

Anak laki-laki itu mengeluarkan sebuah bros bunga dari dalam tasnya. Bunga itu berwana putih dan terbuat dari bahan yang tidak mudah karatan.
“Ini buat kamu ya...” Mea menerima bros bunga itu. “ Nama bunga ini, bunga Edelweis...” Anak itu tersenyum. “Tersenyum selalu, ya. Jangan menangis lagi. Janji?” serunya lagi.

“Terima kasih kakak... Aku janji gak akan nangis lagi...” sahut Mea lirih. Anak itu segera membantu Mea untuk berdiri dan kembali ke dalam becak yang ditumpanginya tadi.

Mea kembali kedalam rumahnya sambil membawa bunga buatan itu. Anak itu terus melanjutkan perjalanannya. Sampai becak anak tadi menghilang, Mea masih memandangi jalan tempat anak itu menghilang.

cc: prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sila komentar. Komentarmu adalah penyemangat untuk tulisan berikutnya! See ya! ^^