Emi masuk ke ruang musik dan menemukan Rian tengah
bermain piano ditengah ruangan. Ia langsung berlari dan merangkul Rian dari
belakang.
“Rian... Kamu sedang apa?” seru gadis berambut ikal itu
terdengar senang.
“Apa kamu tidak lihat? Aku sedang bermain bola bekel,” sahut
Rian meledek. Lelaki itu tidak melepaskan tangannya dari atas tuts piano.
Emi tertawa. “Masa kamu main bola bekel? Hahaha...” Ia
melepaskan rangkulannya kemudian duduk manis disebelah Rian. “Aku punya kabar
baik untukmu.”
Rian, lelaki bertubuh jangkung dan berparas oriental itu
pun segera menghentikkan kegiatannya. Laki-laki itu segera menyigapkan diri dan
menatap Emi. Ia memperhatikan Emi serta siap mendengar kabar baik dari
kekasihnya.
“Apa itu, sayang?” tanya Rian.
“Aku mengajukan diri untuk ikut kompetisi violinst
se-Indonesia pada pihak kampus.” ucap Emi memulai.
“Lalu?”
“Lalu...” Emi terdiam seraya memasang wajah pura-pura sedih. “Aku... Diterima!!”
Seruan Emi segera disambut senyum bahagia Rian yang
langsung memeluknya. Emi dan Rian sama-sama pecinta musik. Emi lebih senang
bermain biola sedangkan Rian senang menarikkan jemarinya pada tuts piano.
“Syukurlah, honey...”
ujar Rian. “Semoga kamu berhasil dan kita bisa duet bareng dalam satu
panggung.”
***
“Lolos!”
“Kamu diterima!”
“Selamat, kamu maju ke tahap selanjutnya!”
Emi telah menjalani berbagai macam tes dari antar kampus,
antar kota, hingga antar propinsi. Ia pun akhirnya terpilih sebagai perwakilan
propinsi untuk kompetisi violinst
se-Indonesia. Sebelum pulang ke rumah, ia selalu berlatih di ruang musik
bersama Rian yang mengiringinya dengan piano. Suara alunan musik mengalun merdu
perpaduan biola dan piano. Lagu pun berakhir dengan nyanyian sebuah lirik dari
salah satu lagu kesukaan Rian oleh Emi.
“Mengapa bintang bersinar, mengapa air mengalir, mengapa dunia berputar...
Lihat segalanya, lebih indah dan kau kan mengerti...”(Sherina-Lihatlah lebih
dekat)
“Suaramu bagus...” seru Rian kemudian.
“Yah, aku sudah melihat semua dan biasa saja. Tidak
seperti yang ada dilirik lagu, payah!” keluh Emi kemudian.
“Haha.. Kamu tidak tahu karena belum pernah merasakan,”
sahut Rian. “Sudahlah, ayo kita pulang...”
Keduanya segera merapihkan peralatan musik dan
mengembalikkan pada tempatnya. Mereka pun pergi meninggalkan ruang musik dan
menuju parkiran kemudian pulang menuju rumah. Suasana jalanan Jakarta sore hari
penuh kemacetan. Rian pun memutuskan untuk menerobos jalan-jalan arteri yang
ramai dengan angkutan umum. Sementara itu Emi asik dengan ponsel pintar
miliknya.
Tak lama terdengar teriakkan dari para penduduk sekitar
dan sebuah mobil box ukuran besar menyerempet keduanya. Rian banting stir ke
kiri dan Emi terjatuh. Kepala gadis itu sempat terantuk trotoar dan berdarah.
Emi pun tak sadarkan diri. Ia dilarikan ke rumah sakit dan dokter menyatakan
bahwa Emi baik-baik saja.
Sementara itu, Rian baru saja keluar dari UGD dengan
perban menempel di lengan kirinya. Ia memar dan tidak ada luka berarti. Ia
berjalan menghampiri ruang rawat Emi dan tak lama gadis itu pun tersadar. Ia
membuka kedua kelopak mata miliknya.
“Ma...” panggil Emi kemudian.
“Ya, Emi,” sahut Mamanya cemas.
Emi sempat mendengar suara Mamanya yang sedih. Tapi, ia
merasakan sesuatu yang aneh. Ia dapat mendengar suara Mamanya namun tidak dapat
menemukan sosok Mama. Tak lama, ia merasakan tangannya digenggam dan suara Mama
kembali terdengar.
“Kamu butuh apa, Emi? Mama disini,” ucap Mama lagi.
“Disini? Disini mana, Ma?” tanya Emi heran.
Mama Emi tertegun. Ia menatap Rian yang juga menatap Emi
heran.
“Kamu kenapa Emi? Mamamu ada disamping kiri tempatmu
berbaring, memangnya tidak terlihat?” tanya Rian memastikan.
Emi mendengar suara Rian lalu menoleh ke arah sumber
suara. “Honey, lampunya tolong
dinyalakan dulu. Aku tidak dapat melihat apapun disini.”
Seketika, Mama dan Rian saling memandang.
“Honey... Emi
sayang, lampu disini tidak mati. Kamu benar-benar tidak dapat melihat aku dan
mamamu?” tanya Rian lagi mulai panik.
Emi berkedip. Gadis itu berkali-kali berkedip untuk
memastikan kelopak matanya terbuka dengan benar. Ia yakin sekali. Ia sudah
membuka matanya, namun tidak ada cahaya apapun yang masuk. Setitik pun tidak.
“Saya panggil dokter dulu, tante.” Rian segera melangkah
memanggil para medis meminta bantuan.
Selang beberapa lama, terdengar langkah kaki beberapa
orang yang mendekat. Emi merasakan wajahnya disentuh oleh orang-orang yang
tidak dapat dilihatnya. Alat-alat medis yang diletakkan ditubuhnya pun dapat
dirasakannya, hanya ia benar-benar tidak dapat melihatnya.
“Begini, Bu...” ujar Dokter memulai penjelasan. “Dengan
sangat menyesal saya menyampaikan kabar buruk ini.”
Emi mendengar suara Mamanya kembali terisak. Ia ingin
sekali melihat, memastikan Mamanya tidak menangis.
“Tampaknya benturan di kepala Emi cukup serius. Saraf
matanya untuk sementara tidak dapat berfungsi dan kami tidak dapat memastikan
kapan masa pemulihannya.”
Emi terdiam. Ia seperti mendapat sambaran petir pada
hatinya. Sementara itu, kelopak matanya memanas dan setetes air mata kemudian
mengalir dipipinya. Tangan Rian terasa memegang Emi dengan erat. Suara tangis
Mamanya pun tidak terbendung lagi. Dengan segenap tenaga, ia membelalakan mata
berusaha mencari secercah cahaya. Ia berusaha menolak kenyataan yang harus ia
hadapi sekarang.
“Ma...” ucap Emi lirih. “Maksud dokter... aku sekarang
buta?”
Emi menahan tangisnya agar tidak pecah. Ia ingin meronta.
“Maafkan aku, sayang,” ucap Rian kemudian memeluk Emi
erat. “Seharusnya aku yang berada diposisimu sekarang.”
Emi membalas pelukan Rian erat. “Aku buta, Rian.” Gadis
itu pun menangis kencang. “Sekarang aku buta, Rian! Aku buta!”
***
~ Saat dirimu terhanyut dalam sedih yang kau rasakan, seperti menderita...~
Seminggu kemudian, berita akan kecelakaan Emi telah
sampai ke pihak penyelenggara kompetisi violinst
provinsi. Sebuah surat keputusan ditujukan padanya dan gadis itu meminta
Rian untuk membantunya membacakannya.
“Dengan sangat menyesal kami dari pihak provinsi
memutuskan untuk mengganti posisi Anda sehubungan dengan ketidakberuntungan
yang dialami. Kami mohon pengertian saudara.”
Suara Rian yang terputus-putus saat membacakan baris
terakhir dari surat keputusan. Mendengar suara Rian yang bergetar membuat Emi
semakin bergetar. Tubuhnya bergetar dan tangannya mengepal keras. Ia memukul
meja dengan keras dan rasa sedih meliputinya.
“Sudahlah, kamu tak usah bersedih. Masih ada kesempatan
lain...” ujar Rian berusaha menenangkan.
“Kesempatan lain? Kapan? Aku sudah buta, Rian! BUTA!!”
pekik Emi histeris.
Plak!!
Sebuah tamparan hebat menghampiri pipi. Pipi Emi pun
sekejap terasa panas dan air matanya mengalir secara perlahan. Emi meraba
pipinya yang terasa panas dengan tangan yang penuh gemetar. Tak lama ia merasa
kursi roda miliknya bergerak mundur dan maju lagi menuju suatu tempat.
“Rian, kamu mau kemana? RIAN!!”
“Aku mau buat kamu sadar!”
Emi terus meronta meminta Rian berhenti. Ia dibawa masuk
ke sebuah tempat yang memiliki aroma mawar. Pengharum mobil taksi yang biasa
ditumpangi Emi. Gadis itu masih terus melawan Rian dengan kata-kata, meminta
laki-laki itu mengembalikannya pada kedua orang tuanya. Tak lama mobil berhenti
dan Emi keluar.
“Emi. Saat aku tiga tahun, aku pernah buta sepertimu.
Berkat donor mata, aku bisa menjadi seperti sekarang. Aku mau kamu melihat
segalanya dari sisi lain.” ucap Rian. Laki-laki itu mendorong kursi roda Emi
dan berhenti di sebuah rumah tua yang terawat rapi. “Ini rumah masa kecilku.
Coba dengarkan, rasakan dan lihat dengan hatimu. Aku yakin kamu akan bisa
melihat lebih daripada yang bisa melihat sungguhan.”
Emi memejamkan mata, ia tak mendengar suara bising
kendaraan melainkan kicauan burung. Sesekali terdengar suara dedaunan yang
tertiup angin. Ia pun merasakan angin yang menerpa wajahnya, menerbangkan
rambutnya. Emi pun merasa damai.
“Rian...” panggil Emi.
Tak ada sahutan, malah terdengar dentingan piano tak jauh
dari tempatnya berada. Rian berhenti bermain piano. Ia membimbing Emi
meletakkan jari diantara tuts piano
lalu meminta gadis itu bermain sesuai perasaannya. Gadis itu mulai menekan
bidak-bidak piano satu persatu lalu perlahan menemukan melodi yang pas untuk
sebuah nada. Tanpa disadari, air matanya mengalir perlahan membasahi pipi.
“Rian... Terima kasih. Aku kini mengerti cintamu yang
sesungguhnya.” gumam Emi. “Aku akan bermain untukmu sesuai dengan janji kita
dulu...”
~ Cobalah engkau sadari, bahwa hidup ini terlalu indah untuk ditangisi...~
***
“Loh, Emi Meitha bukannya peserta violinst se-Indonesia tahun lalu? Kenapa sekarang beralih menjadi vocalist?” tanya seorang pembawa acara
pada rekan kerjanya.
“Menurut cerita, ia mengalami kebutaan dan kekasihnya
yang membuatnya kembali bermain musik dan bernyanyi.” sahut rekan pembawa acara
tadi.
“Cinta memang tiada tandingan...” si pembawa acara
berdecak kagum.
Emi menatap ke depan berusaha membuka matanya lebar-lebar
tapi seperti biasa, tak ada bayangan apapun yang masuk. Tak ada pantulan cahaya
sama sekali. Ia menghela nafas panjang kecewa pada keadaannya. Emi menggeleng
keras kemudian menarik nafas dalam dan mengangkat kepalanya penuh percaya diri.
“Emi!” panggil seseorang yang akrab.
“Rian...” sahut Emi diikuti senyum lebar.
Rian pun segera menghampiri Emi dan memeluk kekasihnya penuh
kasih.
“Jangan takut. Aku ada dibelakangmu.” ucap Rian
meyakinkan Emi.
Emi mengangguk. Ia tahu bahwa Rian tidak akan
meninggalkannya. Rian pula yang membuatnya kembali mencintai musik. Musik pula
yang membuatnya seperti mendapatkan nyawa untuk hidup kembali.
“Mbak Emi, siap-siap, ya...” seru operator acara
berteriak menjauh dari Emi.
“Nah, siap-siap! Semangat!”
Emi mengangguk dan tersenyum manis.
“Para hadirin sekalian, mari kita sambut kontestan
berikutnya... Emi!”
Jantung Emi berdegup begitu kencang. Ini pertama kalinya
ia naik ke atas panggung setelah tak dapat melihat dunia dengan matanya
sendiri. Ia melangkah beberapa langkah ke depan, lalu beralih ke kanan sesuai
dengan hitungan saat pelatihan sebelumnya. Ia meraba-raba tuts piano yang licin dan menemukan tuts lain yang lebih tinggi. Tuts piano yang licin dan dingin
menambah rasa takutnya.
Emi menghela nafas dalam kemudian menaruh jemarinya pada
bilah-bilah piano. Tak lama jarinya pun bergerak diiringi denting-denting nada
yang mengalun lembut menjadi satu. Suara dentingan pianonya perlahan semakin
merdu siap mengiringi nyanyiannya.
“Rian..” gumam Emi perlahan sebelum bait pertamanya dinyanyikan.
~ Dan bernyanyilah, senandungkan isi suara hati bila kau terluka...
Dengarkan alunan lagu yang mampu menghapuskan lara hati warnai hidupmu
kembali... Menarilah... Bernyanyilah...” #DanBernyanyilah-Musikimia.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia, Nulisbuku.com dan Storial.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sila komentar. Komentarmu adalah penyemangat untuk tulisan berikutnya! See ya! ^^