Disclaimer
Postingan ini masih satu rangkaian dengan cerpen sebelumnya. Dalam mengikuti seleksi kompetisi tempo dulu dan sekarang dibagikan agar banyak pecintanya. Happy reading...
Ting tong... Ting
tong...
Suara
bel rumah berbunyi di pagi buta saat hari liburku berlangsung. Dalam hati
bertanya mengapa tidak ada yang membuka pintu? Aku cuek dan suara bel terus berbunyi.
Siapa sih pagi-pagi sudah bertamu dirumah
orang, keluhku. Akhirnya aku bangkit juga dari tempat tidurdan bergegas
menuju pintu rumah. Aku menemukan secarik kertas memo diatas meja makan yang
ternyata dari mama. Ia menulis pesan bahwa dirinya sedang pergi ke pasar. Pantas saja tidak ada yang membuka pintu, gumamku
dalam hati.
Aku
segera menghampiri pintu rumah dan membuka handelnya dengan perasaan malas. Begitu
terbuka, tampak seorang laki-laki sedang berdiri memunggungi pintu. Laki-laki
itu mengenakan kaos oblong berwarna merah dan kedua tangan diselipkan di saku
celananya.
“Maaf,
mas. Cari siapa?” tanyaku heran.
Laki-laki
tersebut tidak menjawab pertanyaanku dan tidak bergerak sedikitpun. Aku pun
semakin penasaran saat menyadari sosoknya seperti tidak asing lagi bagiku.
“Maaf,
penagih hutang, ya?” ujarku kemudian. Laki-laki tadi tetap tidak menjawab. Rasa
emosi mulai menghinggapiku saat melihat laki-laki tadi yang tidak kunjung
menjawab pertanyaanku. “Hey mas, kalau ditanya jawab dong. Saya susah payah
bangun supaya bisa bukain pintu buat mas tapi malah diam seperti patung
begini!”
Gerutuku
rupanya bermanfaat juga. Laki-laki tadi mulai bergerak dari tempat ia berdiri
dan membalikkan badannya. Begitu wajahnya menatapku, sesaat aku merasakan degup
jantungku berhenti tiba-tiba. Rasa shock dan tidak percaya bercampur jadi satu.
Laki-laki itu adalah DIA... DIA... Dia yang selalu datang dimimpiku, bahkan
beberapa saat lalu aku masih memimpikannya.
Tapi sekarang, dia ada dihadapanku,
didepan mataku! Astaga!
Tanganku
menutup mulutku yang reflek menganga menatap Rendi, kakak kelas yang selama ini
hanya bisa aku lihat dari jauh karena banyak penggemarnya. Aku menyukainya
karena wajahnya yang manis dan prestasinya yang luar biasa disekolah. Dapat ku
lihat, Rendi tersenyum melihat aku yang terbelalak kaget saat melihat dirinya
berdiri di depan rumahku.
“Kak
Rendi...” seruku pelan, sepelan suara angin.
“Hai
Andin, apa kamu sudah sarapan? Aku mau mengajakmu sarapan bersama.” balas kak
Rendi kembali tersenyum menatapku.
Oh,
astaga! Apa yang terjadi hari ini? apa ini tanggal keramat? Keajaiban apa yang
terjadi sehingga Kak Rendi yang terkenal dingin itu mengajakku sarapan pagi.
Lagi-lagi mulutku menganga menanggapi ajakan Kak Rendi yang tiba-tiba.
Buru-buru aku menyadarkan diri lalu menjawab pertanyaan Kak Rendi dengan tergagap.
“Be...
Belum kak... Ki... Kita sarapan bersama?”
Senyum
Kak Rendi tiba-tiba pecah menjadi tawa mendengar jawabanku. Seketika wajahku
berubah menjadi merah seperti udang rebus. Dimana aku harus menyembunyikan malu
ini??? pekikku dalam hati.
“Mari
Andin, kita sarapan bersama di depan komplek rumahmu. Tadi aku melihat ada
penjual nasi uduk disana.” Ajak Kak Rendi lagi. Ia lalu meraih tanganku
mengajakku keluar rumah.
Seluruh
tubuhku bergetar dan perutku berguncang hebat disertai rasa sakit kepala yang luar
biasa.
Astaga, ada apa lagi ini? Ini saat yang penting, kenapa harus sakit? Oh,
ya. Semalam aku kehujanan dan lupa minum obat. Aku menatap Kak Rendi penuh
permintaan. Namun lama kelamaan pandanganku kabur dan bisa kurasakan tubuhku
terjatuh ke lantai disertai teriakkan Kak Rendi.
Betapa
malunya diriku. Pingsan saat sang pujaan hati mengajak sarapan bersama.