Hai! Inilah proyek menulis marathon '31 Days Full of Articles' hari ke Dua Puluh Delapan! Kamu ingin join atau membaca tulisan sebelumnya atau sesudahnya, silahkan klik disini...
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Profil Penulis:Hai! Kita dapat tamu lagi nih, tapi bukan tamu baru. Saudara kita ini sudah pernah ikutan challenge ini. Udah baca belum artikel dia sebelumnya? Kalau belum, yuk diintip disini. Nah, buat yang belum kenal, silahkan dihubungi lewat twitter dan Facebook ya. Jangan lama-lama ah, yuk kita langsung masuk ke artikelnya yang nggak kalah keren dengan artikelnya sebelumnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Intan tuh
sebenernya orangtuanya kerja apa sih?”
“Orangtuanya
dua-duanya PNS biasa, sama-sama guru SMP.”
“Tapi dia anak
tunggal kan ya? Kok kayaknya kekurangan uang jajan gitu?”
“Maksud kamu?”
“Ya gitu deh.
Tiap kali foto, bajunya itu-itu aja. Terus, dia juga getol banget
ikutan berbagai kompetisi di blog. Hobi banget dia nyari gratisan
kayaknya.”
Diam-diam di sudut
sini, saya tanpa sengaja mendengarkan percakapan mereka. Sebulir
airmata jatuh menggelinding di pipi, saya buru-buru menyekanya. Bukan
cengeng, tapi memang hati saya terkadang begitu sensitif menerima
pelecehan macam ini. Hei, tega benar membawa-bawa nama orangtua saya
hanya gara-gara tumpukan baju saya kalah menggunung jika dibandingkan
dengan koleksi baju mereka. Dan lagi, bukannya si mbak peremuk hati
saya barusan itu juga sering ikutan berbagai macam kompetisi blog?
Apa bedanya saya dan dia? Sama-sama banci gratisan, dengan modus
berbeda barangkali.
***
Sebenarnya, saya
juga pernah diomeli ibu ketika saya dengan keras hati bekerja sebagai
penyiar di salah satu radio swasta kota ini.
“Kenapa? Uang
jajan dari ibu sama ayah kurang?”
Rahang saya sedikit
mengeras, ego anak muda saya tersentil.
“Bu, ini bukan
masalah uang, tapi keinginan, passion. Intan udah kadung suka sama
dunia radio, dunia media.”
“Hidup ini
bukan hanya sebatas suka atau nggak suka, nak. Tapi jaminan
kebahagiaan. Kamu mau kelak hidup seadanya? Mau makan enak susah? Mau
beli pakaian mahal harus nabung lama-lama dulu? Boro-boro mikirin
gimana caranya punya hunian dan kendaraan bagus.”
Suara ibu bergetar, beliau mungkin marah dalam kebingungan.
Barangkali benak ibu bertanya, apa sih yang sebenarnya putri semata
wayangnya ini cari? Ada-ada saja yang ia kerjakan.
Saya diam. Kenapa
ukuran bahagia harus senantiasa diukur dari materi yang berhasil
diraup? Bukankah yang dicari dalam kehidupan ini hanyalah
kebahagiaan. Seperti apapun usaha yang dilakukan manusia, bukankah
muaranya hanya satu, kebahagiaan? Tapi ah, sudahlah. Saya tak ingin
menyakiti hati orangtua. Saya pun resign dari radio. Mereka bahagia
sekali, tanpa pernah tau bahwa saya menancapkan janji dalam-dalam
akan kembali lagi ke dunia media di masa depan kelak. Setelah
kewajiban saya menyelesaikan S1 di Pendidikan Fisika selesai. Saya
yakin, bekerja dengan passion akan menghasilkan hasil yang luar
biasa. Bukan hanya materi yang diraih, namun juga perasaan berharga
bernama kebahagiaan.
***
Saya jejingkrakan
girang. Ternyata untuk “bersuara”
tak harus dengan cara masuk ruang siar. Lewat blog pun jadi. Mulailah
saya berkicau ria di berbagai kompetisi kecil dunia perblog-an.
Syukurlah, ada satu dua hadiah mungil yang berjodoh dengan saya.
Menuruti passion lantas mendapat hadiah, apa yang lebih indah dari
itu?
Sayang, orangtua
saya pun akhirnya mendengar kicauan samar saya di blog. Mereka
mengelus dada.
“Untuk apa
menghabiskan energi dengan menulis seperti itu? Dapat apa? Toh
hadiahnya kecil-kecil semua. Mending kamu pakai waktumu untuk
belajar. Persiapan untuk tes CPNS sekalian.”
Saya diam, meremas
ujung baju saya dengan gemas. Ah, pengen nyakar tembok rasanya.
Geram!
***
Ini hidup saya,
saya yang jadi pengendali, bukan mereka. Kalimat
yang terdengar egois memang. Tapi mau bagaimana lagi, sebelum saya
belajar membahagiakan orang lain, sayalah yang terlebih dahulu harus
bahagia, bukan? Saya hanya belajar melakukan hal yang harus saya
lakukan, hal-hal yang akan menuntun saya menuju muara kebahagiaan.
Tumpukan buku,
musik, dunia tulis menulis dan ruang siar adalah obsesi saya saat ini
dan masa depan. Saya ingin hidup dalam atmosfer dunia media. Meskipun
saya tau, jalannya tak mulus. Tak ada dukungan dari sisi kanan kiri.
Tapi ini hidup saya. Dan sayalah yang paling bertanggung jawab akan
membawa arah hidup saya ke sudut mana.
Hidup hanya sekali,
biarkan saya mengejar obsesi dengan cara yang cantik. Toh, saya pun
mengerti, obsesi dan mimpi sempurna bukanlah ketika semuanya berjalan
sesuai skenario saya. Melainkan saat saya telah mengerahkan semua
kekuatan saya untuk meraih mereka. Perkara hasil, biarkan Tuhan yang
menggoreskan takdir-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sila komentar. Komentarmu adalah penyemangat untuk tulisan berikutnya! See ya! ^^