Matanya tertegun menatap gadis bermata sipit tersebut. Ia berusaha mencerna tiap kata yang diucapkan Fely, melawan rasa kantuk yang menyerangnya sejak beberapa menit yang lalu. Udara malam yang dingin hampir berhasil menusuk ke dalam tulang jemarinya.
"Ah, sudahlah. Cepat pulang sana, sudah malam," lanjut Fely lagi kemudian.
Frans ingin mencerna baik-baik perkataan Fely yang sebelumnya. Sayang, kepala dan matanya tidak berjalan seirama. Ia pun hanya bisa tersenyum samar kemudian menghidupkan mesin motor miliknya.
"Gue pulang dulu, ya..."
Kesempatan yang tidak pernah datang untuk kedua kalinya. Sebuah pernyataan yang juga tak kunjung dijawab.
***
4 tahun kemudian...
Aliran sungai Cisadane tampak kemerahan diterpa matahari senja. Hembusan angin sore menerbangkan tiap helai rambut Fely. Ia menatap lurus hamparan air sungai seraya berdiri di tepiannya.
"Fel!"
Suara khas yang dikenal, terdengar jelas. Ia mengalihkan pandangan dan melihat lelaki berjaket hitam berlarian menghampirinya.
"Hei, Frans!"
Fely melambaikan tangan pada Frans. Senyum terutas manis dibibir.
"Maaf, gue terlambat."
"Nggak apa-apa. Baru pulang kerja?"
"Iya. Biasa, bos lagi banyak permintaan."
Seperti biasa. Alasannya untuk terlambat dan mengingkari janji. Sudah terbiasa. Sudah seperti hal yang lumrah bagi Fely untuk mendengar alasan Frans selama 4 tahun.
"Waduh, maaf ya. Gue nggak ada niat memaksa lo untuk datang hari ini. Hanya saja..."
"Hanya saja?"
Feli beranjak dari tepian sungai menuju bangku taman yang berada di pinggiran sungai dan duduk di atasnya.
"Ada hal penting yang harus gue sampaikan sebelum gue pergi dari kota ini."
"Lho? Memangnya lo mau kemana?"
"Memulai kehidupan baru."
"Cieee, mau marriage maksud lo?"
Bukk!
Fely melemparkan sebuah benda pada Frans yang langsung ditangkapnya.
"Apa ini?"
"Gue akan pergi meninggalkan seluruh kenangan dan hidup gue yang ada di kota ini. Termasuk lo."
Fely menatap Frans yang tiba-tiba terdiam. Gadis berambut lurus sebahu itu pun menghela nafas. Pertanda kesiapan hatinya mengucapkan salam yang tidak pernah terbayangkan untuk diucapkan sebelumnya.
"Waktu gue kecil, gue pernah bilang ke sahabat gue. Gue tidak akan pernah mau menyatakan perasaan gue duluan ke lelaki manapun. Sayangnya, gue pernah melakukan hal itu dulu."
"Wih!" seru Frans penasaran. "Ke siapa?"
"Ke seseorang yang gue jadikan tokoh utama dalam cerpen gue yang dibukukan itu."
"Hah? Serius?! Siapa?"
Fely hanya terdiam. Matanya melirik pada buku yang dipegang Frans seakan isyarat untuk membuka isi buku. Beberapa menit selanjutnya merupakan waktu-waktu yang paling menegangkan bagi Feli. Menantikan reaksi yang akan terjadi selanjutnya.
"Jadi, siapa tokoh utama dalam cerita lo ini?"
"Yang lo baca, siapa?"
"Disini tertulis nama Frans. Tapi, Frans ini bukan gue, kan? Lo nggak serius, kan?" Mata Frans kemudian menatap Feli nanar. Lelaki itu berusaha mengorek informasi lebih dalam pada gadis yang hanya tersenyum dihadapannya.
"Itu lo, Frans. Laki-laki dalam cerita itu adalah lo."
"Hah?! Kapan lo menyatakan..." Lelaki itu tercekat seperti mengingat sesuatu. "Ah, malam itu! Malam dimana gue..."
"Iya."
"Dan... Gue belum menjawab dan membalas perasaan lo? Benar?"
"Iya."
"Feli. Maaf, gue..."
"Tidak perlu minta maaf karena tidak ada yang perlu dimaafkan. Semuanya terjadi begitu saja, hanya gue yang terlalu mendramatisir."
"Feli..." ucap Frans lirih, merasa tidak enak.
"Maka dari itu, gue hari ini mau pamitan ke lo. Minggu depan gue akan pindah ke daerah dan menetap disana. Gue hanya mau mengungkapkan semuanya pada lo sebelum gue benar-benar meninggalkan segalanya disini, dikota yang penuh dengan kenangan."
***
"Pagi, pak! Ada kiriman paket buat bapak!"
"Terima kasih."
Frans membawa kotak paket yang diberikan padanya kemudian membukanya begitu tiba di ruang kerja. Ia tampak bingung saat melihat sebuah handuk kecil, buku novel dan secarik kertas di dalamnya.
'Dear Frans,
Begitu lo baca surat ini, gue sudah tiba di kota tujuan dengan selamat. Tentunya selamat dari rasa tidak ikhlas-nya gue saat meninggalkan seluruh kenangan gue, termasuk lo.
Karena gue benar-benar ingin meninggalkan seluruh kenangan, maka gue kembalikanbeberapa ups, hanya 2 barang yang pernah lo kasih, ke gue.
1. Handuk kecil
Gue inget bagaimana lo mengajak gue pertama kali ke resepsi salah satu sahabat lo dan souvenir dari pesta resepsi itu lo titipkan pada gue. Yang pada akhirnya tidak pernah gue kembalikan. Gue bahkan dengan percaya diri menganggap itulah hadiah pertama dari lo.
2. Buku Novel
Pemikiran gue akan handuk kecil sebagai hadiah pertama dari lo, langsung hilang saat lo memberikan hadiah ini khusus buat gue, kado ulang tahun gue. Terima kasih, karena judulnya yang selalu berhasil mengingatkan gue akan lo.
Melupakan kenangan tentu tidaklah mudah, namun daripada melupakannya, gue lebih memilih mengingatnya. Lalu, saat gue melihat barang-barang itu, gue langsung mengingat lo dan kembali mengenang lo. Maka, gue memutuskan untuk mengembalikannya pada lo agar tidak teringat dan mengenang.
Gue pun berterima kasih karena diberikan kesempatan untuk memiliki perasaan pada lo tanpa mengharapkan balasan.
Orang bilang, kalau cinta sejati hanya sekali seumur hidup. Tapi bukanlah cinta sejati kalau harus memiliki. Jadi, gue mengambil keputusan terbesar dengan tetap memiliki lo sebagai cinta sejati, bukan untuk status.
Semoga lo bahagia selalu,
Salam bahagia,
Fely'
Seketika, Frans langsung menaruh kembali kotak pemberian Fely kemudian berlari menuju stasiun kereta, mengejar Fely yang sudah pergi. Sementara itu, Fely sudah duduk manis dalam gerbong yang membawanya menuju ke tempat tujuannya. Ia tersenyum seraya menatap bentangan sawah-sawah sepanjang perjalanannya.
Frans menghubungi ponsel Fely namun sudah tidak aktf. Ia melenggang meninggalkan stasiun. Tanpa disadari, keputusasaan Frans membawa laki-laki itu ke tepian sungai Cisadane, tempat terakhir ia bertemu Fely.
"Fely!" teriak Frans. "Gue suka sama lo..."
Frans pun akhirnya tersadar, pengakuannya tidak lagi berguna. Fely sudah pergi dan memutuskan untuk meninggalkan segalanya. Termasuk perasaannya pada Frans.
(Awalnya, postingan ini dibuat dengan harapan agar apa yang dirasakan Frans menjadi kenyataan pada Feli meski gadis itu benar-benar pergi nantinya. Sayangnya, waktu yang awalnya dibuat dua tahun sebelum penerbitan postingan ini ternyata terlampau lama. Feli menginginkan 'move on' secepatnya sebelum akhir tahun 2014 berakhir. Semuanya dengan harapan bahwa tahun 2015 nanti mendapatkan yang lebih baik serta lebih bisa membuka hati kepada yang lain.
Postingan ini dibuat dalam satu proyek bernama 'Move On Project' yang diposting diakhir tahun 2014. Akhir segala penantian dan akhir dari segala pengharapan. Bye 2014, Welcome 2015.)
"Ah, sudahlah. Cepat pulang sana, sudah malam," lanjut Fely lagi kemudian.
Frans ingin mencerna baik-baik perkataan Fely yang sebelumnya. Sayang, kepala dan matanya tidak berjalan seirama. Ia pun hanya bisa tersenyum samar kemudian menghidupkan mesin motor miliknya.
"Gue pulang dulu, ya..."
Kesempatan yang tidak pernah datang untuk kedua kalinya. Sebuah pernyataan yang juga tak kunjung dijawab.
***
4 tahun kemudian...
Aliran sungai Cisadane tampak kemerahan diterpa matahari senja. Hembusan angin sore menerbangkan tiap helai rambut Fely. Ia menatap lurus hamparan air sungai seraya berdiri di tepiannya.
"Fel!"
Suara khas yang dikenal, terdengar jelas. Ia mengalihkan pandangan dan melihat lelaki berjaket hitam berlarian menghampirinya.
"Hei, Frans!"
Fely melambaikan tangan pada Frans. Senyum terutas manis dibibir.
"Maaf, gue terlambat."
"Nggak apa-apa. Baru pulang kerja?"
"Iya. Biasa, bos lagi banyak permintaan."
Seperti biasa. Alasannya untuk terlambat dan mengingkari janji. Sudah terbiasa. Sudah seperti hal yang lumrah bagi Fely untuk mendengar alasan Frans selama 4 tahun.
"Waduh, maaf ya. Gue nggak ada niat memaksa lo untuk datang hari ini. Hanya saja..."
"Hanya saja?"
Feli beranjak dari tepian sungai menuju bangku taman yang berada di pinggiran sungai dan duduk di atasnya.
"Ada hal penting yang harus gue sampaikan sebelum gue pergi dari kota ini."
"Lho? Memangnya lo mau kemana?"
"Memulai kehidupan baru."
"Cieee, mau marriage maksud lo?"
Bukk!
Fely melemparkan sebuah benda pada Frans yang langsung ditangkapnya.
"Apa ini?"
"Gue akan pergi meninggalkan seluruh kenangan dan hidup gue yang ada di kota ini. Termasuk lo."
Fely menatap Frans yang tiba-tiba terdiam. Gadis berambut lurus sebahu itu pun menghela nafas. Pertanda kesiapan hatinya mengucapkan salam yang tidak pernah terbayangkan untuk diucapkan sebelumnya.
"Waktu gue kecil, gue pernah bilang ke sahabat gue. Gue tidak akan pernah mau menyatakan perasaan gue duluan ke lelaki manapun. Sayangnya, gue pernah melakukan hal itu dulu."
"Wih!" seru Frans penasaran. "Ke siapa?"
"Ke seseorang yang gue jadikan tokoh utama dalam cerpen gue yang dibukukan itu."
"Hah? Serius?! Siapa?"
Fely hanya terdiam. Matanya melirik pada buku yang dipegang Frans seakan isyarat untuk membuka isi buku. Beberapa menit selanjutnya merupakan waktu-waktu yang paling menegangkan bagi Feli. Menantikan reaksi yang akan terjadi selanjutnya.
"Jadi, siapa tokoh utama dalam cerita lo ini?"
"Yang lo baca, siapa?"
"Disini tertulis nama Frans. Tapi, Frans ini bukan gue, kan? Lo nggak serius, kan?" Mata Frans kemudian menatap Feli nanar. Lelaki itu berusaha mengorek informasi lebih dalam pada gadis yang hanya tersenyum dihadapannya.
"Itu lo, Frans. Laki-laki dalam cerita itu adalah lo."
"Hah?! Kapan lo menyatakan..." Lelaki itu tercekat seperti mengingat sesuatu. "Ah, malam itu! Malam dimana gue..."
"Iya."
"Dan... Gue belum menjawab dan membalas perasaan lo? Benar?"
"Iya."
"Feli. Maaf, gue..."
"Tidak perlu minta maaf karena tidak ada yang perlu dimaafkan. Semuanya terjadi begitu saja, hanya gue yang terlalu mendramatisir."
"Feli..." ucap Frans lirih, merasa tidak enak.
"Maka dari itu, gue hari ini mau pamitan ke lo. Minggu depan gue akan pindah ke daerah dan menetap disana. Gue hanya mau mengungkapkan semuanya pada lo sebelum gue benar-benar meninggalkan segalanya disini, dikota yang penuh dengan kenangan."
***
"Pagi, pak! Ada kiriman paket buat bapak!"
"Terima kasih."
Frans membawa kotak paket yang diberikan padanya kemudian membukanya begitu tiba di ruang kerja. Ia tampak bingung saat melihat sebuah handuk kecil, buku novel dan secarik kertas di dalamnya.
'Dear Frans,
Begitu lo baca surat ini, gue sudah tiba di kota tujuan dengan selamat. Tentunya selamat dari rasa tidak ikhlas-nya gue saat meninggalkan seluruh kenangan gue, termasuk lo.
Karena gue benar-benar ingin meninggalkan seluruh kenangan, maka gue kembalikan
1. Handuk kecil
Gue inget bagaimana lo mengajak gue pertama kali ke resepsi salah satu sahabat lo dan souvenir dari pesta resepsi itu lo titipkan pada gue. Yang pada akhirnya tidak pernah gue kembalikan. Gue bahkan dengan percaya diri menganggap itulah hadiah pertama dari lo.
2. Buku Novel
Pemikiran gue akan handuk kecil sebagai hadiah pertama dari lo, langsung hilang saat lo memberikan hadiah ini khusus buat gue, kado ulang tahun gue. Terima kasih, karena judulnya yang selalu berhasil mengingatkan gue akan lo.
Melupakan kenangan tentu tidaklah mudah, namun daripada melupakannya, gue lebih memilih mengingatnya. Lalu, saat gue melihat barang-barang itu, gue langsung mengingat lo dan kembali mengenang lo. Maka, gue memutuskan untuk mengembalikannya pada lo agar tidak teringat dan mengenang.
Gue pun berterima kasih karena diberikan kesempatan untuk memiliki perasaan pada lo tanpa mengharapkan balasan.
Orang bilang, kalau cinta sejati hanya sekali seumur hidup. Tapi bukanlah cinta sejati kalau harus memiliki. Jadi, gue mengambil keputusan terbesar dengan tetap memiliki lo sebagai cinta sejati, bukan untuk status.
Semoga lo bahagia selalu,
Salam bahagia,
Fely'
Seketika, Frans langsung menaruh kembali kotak pemberian Fely kemudian berlari menuju stasiun kereta, mengejar Fely yang sudah pergi. Sementara itu, Fely sudah duduk manis dalam gerbong yang membawanya menuju ke tempat tujuannya. Ia tersenyum seraya menatap bentangan sawah-sawah sepanjang perjalanannya.
Frans menghubungi ponsel Fely namun sudah tidak aktf. Ia melenggang meninggalkan stasiun. Tanpa disadari, keputusasaan Frans membawa laki-laki itu ke tepian sungai Cisadane, tempat terakhir ia bertemu Fely.
"Fely!" teriak Frans. "Gue suka sama lo..."
Frans pun akhirnya tersadar, pengakuannya tidak lagi berguna. Fely sudah pergi dan memutuskan untuk meninggalkan segalanya. Termasuk perasaannya pada Frans.
(Awalnya, postingan ini dibuat dengan harapan agar apa yang dirasakan Frans menjadi kenyataan pada Feli meski gadis itu benar-benar pergi nantinya. Sayangnya, waktu yang awalnya dibuat dua tahun sebelum penerbitan postingan ini ternyata terlampau lama. Feli menginginkan 'move on' secepatnya sebelum akhir tahun 2014 berakhir. Semuanya dengan harapan bahwa tahun 2015 nanti mendapatkan yang lebih baik serta lebih bisa membuka hati kepada yang lain.
Postingan ini dibuat dalam satu proyek bernama 'Move On Project' yang diposting diakhir tahun 2014. Akhir segala penantian dan akhir dari segala pengharapan. Bye 2014, Welcome 2015.)