7 Agustus 2016

Berdiri Tega(r)K

Begitu turun dari sepeda motor, ia terburu-buru mengecup tangan ayahnya kemudian masuk lewat pintu samping. Ia tahu, bayangan dirinya sudah begitu jauh saat matahari menyoroti punggungnya yang memikul tas ransel yang berat. Dengan sedikit berlari, ia terus berharap pintu besi di dalam belum di tutup.

"Kepada... Bendera Merah Putih, HORMAAAAAAT.... GRAK!!"

Dia menghela kecewa. Teriakan pemimpin upacara menghentikan langkah dan membuatnya berdiri di sisi luar pagar terdalam dari sekolah.

"Nanti ya, setelah pengibaran bendera selesai," ujar satpam yang menjaga di sisi dalam pagar.

Dia hanya terdiam diikuti senyum kecut. Dalam hati, ia merutuki ayahnya sendiri karena terlalu 'lelet' untuk mengantarnya ke sekolah.

Sepuluh menit berlalu. Tumit pada kaki kanannya mulai terasa panas. Ia terbiasa menumpukan tubuhnya pada kaki kanan. Sejak kejadian itu membuat kakinya yang dulu paling dibanggakan, menjadi tidak sempurna lagi baginya.

Dia mengganti posisi berdirinya. Ia melatih kaki kirinya dan menumpukan tubuhnya pada kaki kiri.

Ah. Sekejap ia merasa sedikit lebih rendah dari posisinya berdiri semula. Ini dia. Alasan lain dirinya tidak suka menumpukan tubuh pada kaki kiri. Ia terlihat lebih pendek. Ya. Memang. Hanya terlihat pendek beberapa senti, tapi dia tidak suka. Ia lebih suka berdiri dengan kaki kanannya, sehingga ia tahu bahwa dirinya tetap tumbuh seperti anak lainnya.

Tapi kaki kanannya kembali menjerit kepanasan. Untung saja, pengibaran bendera selesai dan ia bisa menyelinap masuk diam-diam di barisan belakang siswa yang sedang mengikuti upacara.

Ah, barisan belakang selalu begitu. Terlalu santai. Bahkan mungkin tidak menganggap adanya upacara.

***

"Anak-anak, hari ini kita olahraga basket bebas. Silahkan cari kelompok dan main three on three," ujar Guru Olahraga yang menjadi idola seantero sekolah.

Bukan. Wajahnya tidaklah seperti artis Korea ataupun penampilannya yang necis. Dia hanya guru olahraga yang rendah hati, senang mengikuti perkembangan jaman waktu itu dan yang pasti, dia selalu ramah dan layaknya teman sendiri bagi para siswa. Tidak terkecuali dia.

Dia belum pernah bilang kalau kakinya tidaklah sempurna, karena ia takut nantinya akan di anak emaskan dan tidak diikutkan dalam beberapa kegiatan olahraga. Tapi, guru olahraga itu tahu.

Dia tidak melarangnya, tapi tetap mengingatkannya. Hingga ia terlalu bersemangat melempar bola basket dan kaki kirinya terkilir.

"Makanya, mainnya hati-hati. Main boleh, tapi harus tahu kondisi sendiri juga,"

Dia hanya diam sambil meringis menahan sakit saat guru olahraga itu mengurut kakinya.

***

Dia sudah lelah berlari. Sebenarnya karena mengantuk setelah ruang kelas yang berubah fungsi menjadi sebuah barak, di gedor habis-habisan oleh seniornya. Ini sesi terakhir.

Sebenarnya (lagi), ia benci akan sesi itu. Membuatnya harus berlari cepar, berulang kali, belum lagi akan hukuman push up ataupun banding yang harus ditemuinya di tiap pos. Hingga akhirnya ia meringis kesakitan, tepat di pusat luka.

Ia digotong pakai tandu dan di bawa ke ruang pengobatan. Secara tidak langsung, ia mencuri sedikit waktu untuk kembali tidur, dikala menahan rasa sakit yang menyerangnya. Sudah lama ia tidak merasa sesakit itu. Ia merasa tidak enak, tapi ia tetap benci sesi itu.

***

Ia menapaki sela-sela trek yang menanjak dan memerlukan kekuatan kaki yang cukup. Untungnya kegiatan itu masih dalam batas wajar, sehingga ia tidak perlu merasakan sakit. Ditambah sudah tidak adanya rangkaian besi di dalam kakinya.

"Asal jangan sampai kedinginan saja nih,"

Suara gemeletuk giginya seakan tidak mau kalah dengan suara talkie-walkie yang saling bersahutan. Untungnya udara dan langit malam itu cerah, sehingga bintang-bintang dapat menjadi temannya malam itu.

***

"Gue ngga bisa berdiri lama, tumit kanannya sudah terasa panas dan sakit,"

Dia masih disana. Berdiri tegak disana seusai menunaikan tugasnya sebagai pembawa firman. Walau kakinya masih terasa sakit, tapi ia tidak mau mengeluh. Ia selalu berusaha berdiri tegak, mengajak kakinya tetap bertualang. Mengarungi kerasnya hidup dan kenyataan.