29 Desember 2015

Cinta adalah Racun

Mencintaimu adalah racun. Membencimu adalah obat penawar atas segala rasa sakitku.
Post!
**
Kepada para penumpang, sebentar lagi kita tiba di stasiun terakhir, Stasiun Tangerang. Periksa kembali barang bawaan anda agar tidak tertinggal di dalam rangkaian KRL.

Aku melepaskan earphone seraya merapikan barang bawaan. Pemandangan orang-orang yang sibuk bersiap keluar dari gerbong kereta seakan membawaku nostalgia ke masa lalu. Masa disaat gerbong kereta menjadi saksi bisu kisah cintaku. Kisah cinta yang tidak ada akhirnya.

Jegrek!

Suara pintu kereta terbuka langsung disambut para penumpang yang naik dan turun tanpa mau mengalah. Mendadak terasa ada yang bergetar dari dalam jaket. Aku merogoh saku jaket dan meraih ponsel pintar milikku yang berpendar cahayanya. Terpampang pada layar ponsel nama Kristin, sahabatku sejak masih kuliah. Aku memilih menghiraukannya sebentar saat harus antri demi keluar area stasiun. Getaran ponsel pun berhenti lalu berganti pada bunyi notifikasi pesan instan.

Aku menghirup udara kota serta menikmati matahari pagi negeri Benteng. Tangerang. Tiga tahun sudah aku meninggalkan kota tempatku dibesarkan setelah memilih melupakan semua kenangan disini. Ah, tepatnya. Melarikan diri dengan membawa setengah hati. Aku terpaksa meninggalkan setengahnya lagi pada seorang laki-laki yang namanya malas untuk diingat.

Ponselku kembali berbunyi. Pesan instan dari Kristin belum sempat dibuka.
Kristin:   Cha! Lo udah sampai di Tangerang?
Kristin:   PING!

“Gue baru tiba di stasiun. Jemput, dong!” gumamku seraya mengetiknya pada layar ponsel.
Kristin:   Oke! Tunggu gue di depan gang, ya!

Langkah kaki membawaku ke ujung gang depan stasiun Tangerang. Mendengar teriakan para supir angkot yang berlomba-lomba menarik penumpang, serta denting piring tukang ketupat tahu sempat membuat rasa rindu yang dalam pada kota ini kembali mencuat.

Ah, kenapa aku pernah meninggalkan kota ini? sesalku dalam hati.

Pandanganku segera beralih ke arah kiri jalan. Terlintas dalam ingatan sebuah tempat yang selalu ingin dikunjungi waktu tinggal di Bogor kemarin. Tempat yang sudah ingin disambangi paling pertama. Pasar Lama.
**
“Jadi, lo akan balik tinggal disini lagi?” ujar Kristin dengan mulut penuh makanan.

“Mungkin,” sahutku cepat. “Nyokap minta gue untuk stay disini, kerja disini, bla bla bla...”

“Ya wajar, lah. Apalagi besok lo mau sincia-an, pastinya kumpul keluarga kan!” seru Kristin dengan pandangan ‘sok-tahu’.

Aku merespon dengan gumaman tidak jelas. Mataku menyapu jalanan dari dalam kedai Pempek. Pasar Lama sekejap tampak seperti China Town-nya kota Tangerang. Lusa, akan ada perayaan Imlek dan hampir seluruh sisi jalanan pasar penuh dengan penjaja ornamen Imlek. Perayaan itu pula, alasanku kembali ke kota Benteng setelah merantau di kota hujan.

“Yakin? Lo nggak akan pergi ke Bogor lagi hanya karena patah hati sama Roy, kan!” sambung Kristin yang lebih terdengar seperti pernyataan.

Nama itu lagi. Aku baru tahu kalau mendengar nama itu yang membuat nafasku kembali tercekat. Nama itu juga yang sempat membuatku tidak ingin kembali ke kota ini.
Aku terdiam sesaat. “Mung...kin,” jawabku. Dan, aku tak yakin.
**
Tempat ini masih belum berubah. Bangunan beratapkan jerami yang ditopang dengan bambu-bambu besar sebagai pilarnya. Tidak ada dinding atau pun sekat. Hanya ada belasan meja diikuti beberapa bangku plastik ditiap baris. Tidak lupa, penjaja laksa yang berjejer rapi mengelilingi tiap sudut. Posisinya yang ditengah kota membuat tempat makan ini cukup dikenal.

“Shintia Icha!!”

Aku berhenti melahap laksa dihadapanku. Pandanganku segera beralih pada pemilik suara yang tampak berlarian dari jalan masuk Pusat Kuliner Laksa Tangerang.

Betha, gadis berpostur kecil, wajah cantik full make-up, termasuk salah satu sahabat terbaikku saat kuliah, datang menghapiri diiringi tatapan heran para penjaja Laksa Benteng seusai mendengar lengkingan suaranya. Tanpa aba-aba lagi, tubuh kecilnya segera mendekap tubuhku. Terasa sejuta rasa rindu yang meluap-luap dibalik dekapannya.

“Kapan balik? Kok lo nggak bilang-bilang kalau mau balik ke Tangerang,” ucapnya tanpa jeda.

Aku melepas dekapannya lalu memintanya duduk. “Belum lama, kok. Lo mau pesan apa?”

“Laksa pakai telur, ya.”

“Bang, laksa telur satu,” seruku pada salah satu penjual laksa yang terdekat dari tempatku duduk. “Lo sendirian kemari? Kristin mana?”

“Masih di jalan,” sahut Betha cepat. “Lo apa kabar? Udah lama nggak nongkrong bareng lagi.”

Aku tertawa pelan. “Setelah ini kita akan sering kumpul bareng lagi, kok.”

“Lo yakin?” tanya Betha ragu seakan meragukan aku yang akan ke medan perang. “Jadi, lo akan stay disini lagi, kan?”

“Kok kata-kata lo bisa sama dengan Kristin, sih?”

Kemudian aku menggumam tak jelas saat seporsi laksa punya Betha mendarat diatas meja. Kami menghabiskan waktu dengan bercerita dan mentertawakan masa lalu saat masih berstatuskan mahasiswa.

“Gimana Roy? Dia nggak menghubungi lo lagi?” ujar Betha disela gelak tawanya.

Aku terdiam. Mataku melotot tajam padanya. Rasa amarah sekejap mematik di dalam hati. Ya, aku marah hingga kebencian mulai menggerogoti hatiku.

“Jangan sebut nama lelaki itu lagi,” ucapku ketus.

“Ah, ya! Maaf...” Betha ikut terdiam.

Seketika suasana yang tadinya menyenangkan berubah menjadi kaku. Aku pun langsung merasa bersalah saat harus menjawab perkataan Betha dengan ketus.

“Kristin!!” teriak Betha kemudian.

Aku terkejut mendengarnya. Tak lama, seorang gadis berambut ikal yang diikat cepol, memakai sepatu boots oranye, serta bergaya kasual, menghampiri tempat kami berdua duduk.

“Kenapa nih? Kok tegang?” terka Kristin seakan bisa membaca pikiran kami berdua. “Pasti gara-gara Betha nih!”

“Sudahlah,” sahutku berusaha tenang. “Mungkin gue yang terlalu sensitif.”

“Sensitif?” Kristin menoleh padaku kemudian beralih pada Betha. “Soal Roy lagi?”

Betha tampak terbelalak dengan tatapan ‘lo-gila-apa’ pada Kristin saat gadis itu menyebut nama Roy lagi. “Kristin!” hardiknya.

Aku mendengus. Sebegitu bencinya-kah aku padanya?

“Wajarlah...” seru Kristin dengan gaya tomboy khasnya. “Menggantung perasaan cewek selama setahun lebih. Tiba-tiba muncul dengan undangan pertunangan. Gila kali!”

Betha menelan suapan terakhir laksa miliknya. Lalu, “Kok jadi lo yang sewot, Tin? Seharusnya Icha yang boleh kesal sama lelaki ‘tukang PHP’ kayak begitu.”

Tak mau kalah, Kristin menarik piring laksa milikku lalu menyuapkan telur ke dalam mulutnya. “Kita ini sahabat, memangnya nggak boleh gue sewot karena sahabat gue dijahatin?”

Ting ting ting....

Aku mengetuk piring laksa yang ada di depan Kristin lalu membuat keduanya terdiam. Perlahan tapi pasti, rasa amarahku hilang seiring mendengar celoteh kedua sahabatku. Mereka yang sering kusebut sebagai keluarga kedua. Sahabat.

“Sudah lama gue nggak mendengar celoteh kalian. I miss you so much, guys!” Tak terasa, setetes air mata menggenang di pelupuk mata.
**
Angkutan kota jurusan Pasar Anyar membawaku melintasi fly over Cipondoh lalu berhenti tepat di-lampu merah ‘STM’. Aku turun dari mobil lalu menyodorkan beberapa lembar uang rupiah pada supir. Pandanganku segera menyusuri keadaan jalan. Seakan tahu akan berjalan kemana, aku membiarkannya melangkah.

Mataku menyapukan pandangan ke sekelilingku. Pemandangan yang masih sama dengan tiga tahun lalu. Sebuah tugu adipura, yang dikelilingi taman dihiasi dengan berbagai macam pepohonan pendek, tampak berdiri kokoh ditengah perempatan yang ramai. Sangat khas Tangerang, menurutku.

Tiba-tiba aku menghentikan langkah. Dalam hati, aku merutuki langkahku hari ini. Kalau bukan karena keinginan Betha dan Kristin yang ingin mengobati rasa patah hatiku, mungkin aku tidak akan setuju dengan rencana mereka.

“Cha! Lo harus move on,” ucap Betha tegas seraya menatap mata gue tajam.
“Gue sama Betha punya rencana,” tambah Kristin tak kalah serius.
“Maksudnya?” tanyaku bingung.
“Besok kita ketemuan lagi disini, jam 4. Oke!”

Dan, aku pun memutuskan untuk mengikuti rencana mereka. Letak tempat janjian kami tidak jauh dari tempatku berdiri sekarang. Masih pukul 15.45, aku lebih memilih menghabiskan waktu dengan berjalan kaki seraya bernostalgia dengan kota tempatku dibesarkan ini.

Pemandangan sepanjang jalan TMP Taruna masih sama. Pepohonan rindang nan tinggi, laksana membentuk terowongan hijau yang membuat kawasan ini sejuk disegala cuaca. Jalan-jalan di sekitaran jalan TMP Taruna, cukup membuat pikiranku ikut mendingin.

Sesekali, terlihat beberapa anak muda membawa skateboard melintas. Ah, ternyata. Sekarang ada arena skateboard gratis disisi kiri jalan. Tiga tahun waktu yang cukup untuk tidak mengetahui perubahan kecil ini. Diam-diam, aku tersenyum melihat pemandangan tadi.

DIIN DIIN...

Suara nyaring klakson kendaraan sekejap mengagetkanku. Dua buah sepeda motor menghentikan laju dan juga langkahku. Salah satu pengendara membuka kaca penutup helm lalu tersenyum riang.

“Kristin! Lo buat gue kaget saja!” seruku.

Dibelakangnya, si penumpang pun ikut membuka kaca helm lalu menyapaku ringan. “Gue pikir lo naik kendaraan, ternyata rajin juga jalan sore-sore begini,” timpal Betha.

“Hahaha, hanya ingin nostalgia,” sahutku kemudian.

“Ah, ya!” ujar Betha lalu menoleh ke pengemudi motor satunya. “Kenalin, itu teman gue Anas. Lo dibonceng sama dia, ya! Kita mau makan jagal hari ini!”

Aku terheran. Dikenalkan dengan orang baru ditengah jalan lalu ‘diculik’ untuk makan sesuatu yang baru pertama kali kudengar. “Apa? Jagal?

DIIN DIIN

“Ayo, cepat!” ajak Kristin tak sabar.

Tanpa tanya lagi, aku segera melompat ke atas kursi penumpang dibelakang Anas. Aku mempercayakan rencana kali ini berhasil di tempat yang bernama jagal.
**
Sebuah warung pinggir jalan di daerah Bayur, beratapkan jerami tebal dan berpondasikan bambu berdiameter besar, berhasil membuatku bertanya-tanya makanan macam apa yang akan aku santap di warung pinggiran seperti ini. Suasananya pun tidak tampak seperti warung-warung nasi biasanya, di warung nasi Jagal ini hanya terdapat sebuah bale[i] besar dilapisi karpet seadanya serta dua buah meja di sisi lain dilengkapi dengan kursi plastik.

“Bu, nasi jagal 3, nasi goreng jagalnya 1. Nasi gorengnya pedas, ya!” pesan Kristin pada ibu pemilik warung seakan akrab.

“Apaan tuh nasi jagal?” tanyaku penasaran.

“Nanti juga tahu,” jawab Betha mengalihkan pembicaraan. “Lo kenal Anas, kan? Dia satu kampus sama kita.”

Aku menatap mata sipit lelaki yang tadi dikenalkan padaku. Parasnya memang tampak tidak asing, tubuh agak gempal serta gaya berpakaiannya cukup familiar dipandangan. “Mungkin pernah lihat, tapi...”

“Hai, gue Anas. Kita satu kampus dan gue suka sama lo,” potong Anas tanpa tedeng aling-aling.

“ANAS!” pekik Betah dan Kristin bersamaan.

Keterkejutan mereka tampaknya berbeda dengan rasa kaget yang aku rasa. Pria yang belum sehari kenal, tiba-tiba mengungkapkan perasaannya dihadapanku.

“Lo gimana sih. Kenapa langsung to the point!” keluh Kristin mengetahui rencananya gagal.  “Harusnya lo basa-basi dulu, ngobrol-ngobrol dulu, baru...”

“Buat apa?” sela Anas lagi. “Gue sudah mengenal, mengetahui dan menyukai semua tentang Icha sejak tiga tahun lalu. Bahkan...” Anas memandangku dalam-dalam. “Sebelum ia mengenal Roy.”

“Mak..sud lo apa ya?” sahutku agak tergagap. “Bagaimana bisa? Lalu, kenapa harus gue?”

Pandangan Anas segera beralih pada Betah. Gadis itu segera tersenyum seraya memamerkan sederet 
giginya yang putih. Ah, aku tahu bagaimana Anas bisa tahu ceritaku. Lalu, kenapa? Aku masih tidak yakin.

“Karena gue memilih untuk mencintai,” ujar Anas kemudian. “Saat seseorang dilahirkan, seluruh waktu yang dimilikinya bahkan belum cukup untuk saling mencintai. Maka, untuk apa membagi waktumu lagi untuk membenci seseorang yang belum tentu memikirkanmu.”

DEG!

Jantungku berdegup cepat. Perkataan Anas terdengar berwibawa serta penuh perasaan. Selama beberapa detik kami terdiam seakan mencerna setiap perkataan darinya. Kami bertiga sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Hingga suara ibu pemilik warung mencairkan suasana saat mengantar makanan pesanan kami.

Nasi putih dengan daging sapi kecap tersaji hangat di depan mata. Rasa pedas dari olahan daging terasa nikmat dilidah sementara pikiranku sibuk memikirkan perkataan Anas yang mematahkan prinsipku selama ini.
**
Aku menatap layar ponsel seraya berselancar di jejaring sosial. Tanganku menggerakan layar ponsel sementara pikiranku tertuju pada perkataan Anas saat lelaki itu mengantarku pulang.

“Tidak perlu buru-buru, Icha. Gue hanya mengungkapkan apa yang gue rasa terhadap lo selama ini. Paling tidak, gue tahu kalau lo mungkin tidak lagi membenci siapapun lagi, termasuk Roy. Gue tunggu jawaban lo segera.”

Mata dan pikiranku segera terhenti saat menatap sebuah nama pada dinding akun Facebook milikku. Hah! Ternyata ia sudah berteman denganku di sosial media.

Anas Agusta : Gue memilih mencintai... Dia.

Cepat-cepat jariku mengetik pada kolom komentar.

Lisya Icha : Karena waktuku tak banyak untuk mencintai, maka aku tidak lagi membencinya. Kini aku memilih untuk mencintai... Kamu.




[i] Sebuah tempat duduk, biasa dari bambu, dan ukurannya lumayan lebar untuk duduk rame-rame.

2 komentar:

  1. ini cerpen cha? atau curhat?
    atau cerpen berdasarkan curhat semata?
    just make sure that you are still in tangerang, not Bogor haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. wakakaka... bukan dua2 nya tang.. kalo dibilang curhat, yeah.. i'm still in Tangerang, not Bogor! tapi kalo dibilang cerpen, agak mirip2 gitu kayaknya ama curhatan.. wakakakak...

      gue menamainya... khayalan semata.. *eaaaaa*...

      at the end, it's just a fiction... :D

      Hapus

Sila komentar. Komentarmu adalah penyemangat untuk tulisan berikutnya! See ya! ^^