15 Juli 2015

Kotak Hati


“Pak, tolong bantu angkat kotak yang ditengah sana,” pinta Feli pada Pak Budi, pria paruh baya yang bekerja sebagai supir dirumahnya.
Feli menunjuk pada arah tumpukkan kotak berwarna coklat ditengah kamarnya. Kotak-kotak berwarna coklat bertumpukkan satu sama lain secara acak. Ia baru saja selesai mengepak seluruh barang-barang yang akan dibawa menuju kos-an barunya.
“Tinggal ini saja? Masih ada lagi tidak?” tanya Pak Budi memastikan.
Feli terdiam berusaha mengingat-ingat. Kakinya segera melangkah menuju lemari dan menengok sisa-sisa pakaian serta barang-barang yang sengaja ditinggalnya di dalam lemari.
Tiba-tiba perhatiannya tertuju pada sebuah kotak yang tak asing lagi bagi Feli. Sebuah kotak berbentuk hati yang tergeletak dirak paling atas dan berada pada posisi paling ujung lemari.
Feli masih bisa mengenali warna merah pada sisi luar kotak yang kini telah memudar. Kotak pun diraih. Debu-debu tipis serta sebuah kertas menempel diatasnya. Ditiupnya debu-debu yang menutupi tutup kotak kemudian nampak sebuah tulisan tangan miliknya.
“Kotak hati,” gumam Feli kecil.
Perlahan dibukanya ‘Kotak Hati’ dan ingatannya langsung kembali pada dua tahun sebelumnya.
***
“Siap, bubarkan!!” teriak pemimpin upacara.
Feli menghela nafas lega saat pemimpin upacara menerima perintah terakhir dari komandan upacara untuk dibubarkan. Menghabiskan empat puluh lima menit ditengah lapangan serta dibawah terik sinar matahari sudah cukup membuat keringatnya bercucuran.
Tak lama, para siswa segera berhamburan meninggalkan lapangan. Bersama teman-teman barunya Feli pun ikut pergi.
“Feli!” panggil seseorang terdengar dikejauhan.
Langkahnya terhenti berusaha mencari sumber suara. Halaman sekolah masih tampak ramai. Beberapa siswa masih memilih tinggal disisi halaman sementara sisanya kembali ke kelas dengan menyusuri koridor-koridor gedung.
Matanya langsung tertuju pada sosok pemuda berseragamkan putih dan celana panjang abu-abu. Feli segera dapat mengenali sosoknya kemudian senyum kecil tersimpul dibibir.
“Kak Angga!” seru Feli seraya berlari menghampiri pemuda yang dipanggilnya Angga.
“Bagaimana hari pertamamu?” tanya Angga
“Lumayan, Kak! Kakak sendiri bagaimana?” jawab Feli dengan sikap manja.
Angga tersenyum lembut pada Feli. Terlihat jelas rasa sayang yang dipancarkan lewat kedua matanya pada gadis yang berdiri dihadapannya.
“Baguslah,” ucapnya seraya mengacak-acak rambut Feli. “Ini bukan hari pertamaku, jadi menurutku biasa saja.”
“Ah, kakak ini!” elak Feli. Gadis itu segera menepis jauh-jauh tangan Angga yang berada dikepalanya. “Aku sudah SMA. Sudah besar, jadi kakak jangan bersikap seperti ini, ya, di depan teman-temanku.”
Angga tertegun sesaat kemudian tersenyum kecil. Senyum yang dipaksakan. “Oh, ya. Kamu sudah besar,” sahutnya.
“Sudah, ya. Aku mau ke kelas dulu.”
Angga mengangguk seraya menatap sosok Feli menjauh. Secara tidak kasat mata, ia melihat tembok diantara dirinya dan Feli. Hatinya perlahan terasa perih. Perlahan namun pasti, ia pasti akan kehilangan Feli. Gadis yang mulai tumbuh dewasa dan menjauh dari kehidupannya.
***
Buah-buah mangga yang hampir masak seakan memanggil untuk dipetik. Angga pun segera memanjat pohon mangga yang tertanam dihalaman rumahnya kemudian memetik salah satu diantaranya.
“Huaaa... Mama...”
Angga tengah asik memakan buah mangga langsung diatas pohon. Perhatiannya segera teralih pada suara tangisan yang didengarnya. Terasa tak jauh. Angga kecil pun celingak-celinguk mencari sumber suara dan menemukan seorang gadis kecil tengah menangis di depan pintu rumahnya.
Ia tak melihat ada orang yang membukakan pintu untuk gadis tadi. Tanpa basa-basi lagi, Angga melompat dari pohon kemudian menghampirinya.
“Kamu kenapa?” tanya Angga heran.
Gadis itu hanya menatapnya dengan mata penuh air mata kemudian melanjutkan tangisannya kembali. Angga pun bingung. Ia mengintip ke dalam rumah  lewat jendela dan tak menemukan siapapun di dalamnya. Hanya perabotan rumah dan sebuah lampu yang menyala di tengah ruangan.
“Kemana Mama-mu?” tanya Angga lagi.
Tangisan gadis tadi terdengar makin keras. “Mamaaaaa...”
Angga bingung. Ia ingin menolong gadis tadi namun tidak tahu harus melakukan apa. Dilihatnya mangga yang digenggamnya sedari tadi. Dengan polosnya, Angga menyodorkan mangga ditangannya pada gadis tadi.
“Ini buat kamu,” ujar Angga.
Tangisan anak tadi sekejap terhenti. Diraihnya mangga dari Angga, “Terima kasih.”
Angga pun terduduk disebelah anak tadi. “Aku Angga, kamu siapa?”
“Aku Feli.” jawab gadis itu disela-sela tangisnya. “Mamaku pergi, aku ditinggal sendirian.”
“Pergi kemana?” tanya Angga lagi.
“Aku tadi main di depan. Mama sudah melarang tapi aku tetap ingin main. Aku ingin mengambil mangga itu...” ujar Feli kecil seraya menunjuk pohon mangga milik Angga.
“Oh, kamu mau mangga ini. Mau ku ambilkan?”
Dengan penuh bersemangat, Angga segera berdiri bermaksud mengambil mangga.
“Jangan pergi...” pinta Feli.
Feli meraih celana pendek Angga dan menghentikan langkahnya.
Angga menatap mata sedih Feli dengan iba. Ia pun memutuskan untuk kembali duduk di sebelah Feli.
“Ya, aku tidak akan pergi. Kamu tenang saja, ya...”
***
“Kak Angga!!” teriak Feli dari kejauhan.
Suara Feli menggema diantara tembok-tembok koridor gedung sekolah. Diikuti pandangan heran para siswa yang tengah berdiri disisi koridor sembari mengobrol atau sekedar kumpul. Gadis itu berlari menghampiri Angga yang langsung menoleh padanya. Ia memandang Angga penuh rasa sayang layaknya seorang adik.
“Ada apa?” tanya Angga. “Bukannya kamu bilang untuk tidak dekat-dekat denganmu selama di sekolah?”
Feli pun langsung cemberut. “Kok begitu sih? Aku kan mau cerita.”
Tawa renyah Angga segera menyambar sesaat kemudian. Ia tahu kakaknya tidak mungkin marah padanya karena hal kecil. Senyumnya pun kembali terkembang.
“Aku punya berita bagus!” ucap Feli bersemangat. Hatinya berdebar begitu kencang seperti orang yang akan menyatakan cinta. “Aku jadian sama Robi. Hebat, kan!”
Senyum Angga sekejap menghilang. “Kenapa Robi? Tidak, kamu tidak boleh jadian dengan Robi!”
Darr!
Seperti mendengar suara petir ditengah siang bolong, hati Feli sekejap sakit. Ia tak menyangka akan menerima balasan yang tidak diinginkan keluar dari mulut Angga, seseorang yang sangat berarti baginya.
“Kenapa, Kak?” tanya Feli lirih.
“Ia tidak baik, Feli. Playboy kelas kakap!”
“Kakak!” bentak Feli kesal. “Berhenti bersikap protektif padaku!”
Suara Feli terdengar seantero koridor hingga siswa lain menatap mereka penuh tanya. Ia tahu Angga sangat menyayangi dan melindunginya seperti adik sendiri, namun kini dirinya telah dewasa. Sudah SMA!
“Feli, ini bukan sekedar protektif...” jelas Angga.
“Sudahlah, Kak!” sergah Feli. “Aku pergi dulu!”
Kata-kata Feli seakan terdengar seperti ucapan perpisahan bagi Angga. Ia menatap punggung Feli yang bergerak menjauh. Pikiran serta tindakkannya tidak cukup cepat untuk menghentikan. Pemuda itu menyadari akan kesalahan ucapannya pada Feli. Gadis itu pasti membencinya. Pasti!
***
“Robi... Kamu kemana, sih?”
Feli mengeluh sepanjang hari saat Robi tak kunjung dapat dihubungi. Sudah seminggu lebih Robi menghilang tanpa kabar. Tak terlihat di sekolah dan sulit dihubungi.
Ia melenggang menyusuri koridor sekolah melewati ruang kelas Robi. Rasa penasaran mendorongnya untuk mengecek ke dalam kelas Robi. Tak ada. Hanya ada sekumpulan siswa dipojok ruangan serta kumpulan para siswi yang bergosip ditengah ruang kelas. Matanya terkaget saat pojok ruangan lainnya.
Robi tengah bercakap mesra bersama dengan seorang siswi yang tak dikenalnya. Tawaan serta candaan yang tercipta seakan menegaskan hubungan keduanya.
“Robi!” panggil Feli menahan kesal.
Robi dan siswi tadi terkejut melihat Feli. Tanpa basa-basi lagi, Feli menghampiri kemudian menampar Robi keras-keras.
“Dasar playboy! Pergi saja kamu ke laut!”
Ia langsung berlari keluar kelas. Hatinya terasa sakit, anehnya bukan rasa sakit karena dikhianati Robi melainkan perasaan kecewa karena pernah menghiraukan perkataan Angga.
“Feli!” teriak Angga terdengar dari kejauhan.
Feli menghentikan langkahnya kemudian membalikkan badan. Ia melihat kakak pelindungnya berdiri seraya menatapnya cemas.
“Kak Angga...”
Feli berlari meraih Angga dan memeluknya.
“Kamu kenapa?” tanya Angga cemas.
Feli menggeleng. “Tidak apa... Aku senang melihat kakak.”
***
Feli menyeruput kopi panas miliknya secara perlahan. Ia menatap Angga yang baru masuk ke dalam cafe dan berjalan menghampiri meja miliknya.
“Kakak darimana?”
Wajahnya sekejap terkejut saat melihat lebam dibibir serta pelipis Angga.
“Kakak kenapa?” tanya Feli.
“Tak apa. Aku hanya memberi pelajaran pada orang yang membuat adikku menangis. Itukan tugas seorang kakak...” jawab Angga lembut.
“Kakak...” sahut Feli lirih.
Angga menarik kursi diseberang meja Feli kemudian menatap gadis itu lekat-lekat.
“Aku sebenarnya tidak ingin mengatakan ini karena aku melihat kamu bahagia bersama Robi. Namun mengingat kejadian hari ini, aku rasa harus memberitahumu.”
Feli menatap mata Angga yang menatapnya penuh keseriusan.
“Apa, Kak?” tanya Feli penasaran.
“Aku akan pindah ke Bandung meneruskan kuliahku disana.”
***
“Feli,” panggil seseorang membuyarkan lamunannya.
Feli menoleh pada asal suara dan melihat Angga berdiri diambang pintu kamarnya. Setelah dua tahun berlalu, Feli memutuskan menyusul Angga ke Bandung.
“Ah, maaf, Kak.”
“Kamu lagi lihat apa sih?” tanya Angga seraya menghampiri Feli.
Feli mengeluarkan selembar kertas dari dalam kotak dan berisikan foto Angga yang mengenakan baju kelulusannya dari universitas bersama dengan Feli.
“Aku bersyukur memiliki kakak sepertimu, seseorang yang lebih dari seorang kakak.”
“Memangnya apa yang lebih dari seorang kakak?” goda Angga.
“Haha,” tawa Feli. “Bagaimana jika seorang kekasih?” canda Feli.
Angga terdiam. Tak ada balasan dari laki-laki itu.
“Baiklah...” jawab Angga singkat.
Sekejap Feli ingin melonjak kegirangan mendengar jawaban singkat Angga.
“Aku menyayangimu, Feli...” ucap Angga lembut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sila komentar. Komentarmu adalah penyemangat untuk tulisan berikutnya! See ya! ^^