“Pak,
tolong bantu angkat kotak yang ditengah sana,” pinta Feli pada Pak Budi, pria
paruh baya yang bekerja sebagai supir dirumahnya.
Feli
menunjuk pada arah tumpukkan kotak berwarna coklat ditengah kamarnya. Kotak-kotak
berwarna coklat bertumpukkan satu sama lain secara acak. Ia baru saja selesai
mengepak seluruh barang-barang yang akan dibawa menuju kos-an barunya.
“Tinggal
ini saja? Masih ada lagi tidak?” tanya Pak Budi memastikan.
Feli
terdiam berusaha mengingat-ingat. Kakinya segera melangkah menuju lemari dan
menengok sisa-sisa pakaian serta barang-barang yang sengaja ditinggalnya di
dalam lemari.
Tiba-tiba
perhatiannya tertuju pada sebuah kotak yang tak asing lagi bagi Feli. Sebuah
kotak berbentuk hati yang tergeletak dirak paling atas dan berada pada posisi
paling ujung lemari.
Feli
masih bisa mengenali warna merah pada sisi luar kotak yang kini telah memudar.
Kotak pun diraih. Debu-debu tipis serta sebuah kertas menempel diatasnya.
Ditiupnya debu-debu yang menutupi tutup kotak kemudian nampak sebuah tulisan
tangan miliknya.
“Kotak
hati,” gumam Feli kecil.
Perlahan
dibukanya ‘Kotak Hati’ dan ingatannya langsung kembali pada dua tahun
sebelumnya.
***
“Siap,
bubarkan!!” teriak pemimpin upacara.
Feli
menghela nafas lega saat pemimpin upacara menerima perintah terakhir dari
komandan upacara untuk dibubarkan. Menghabiskan empat puluh lima menit ditengah
lapangan serta dibawah terik sinar matahari sudah cukup membuat keringatnya
bercucuran.
Tak
lama, para siswa segera berhamburan meninggalkan lapangan. Bersama teman-teman
barunya Feli pun ikut pergi.
“Feli!”
panggil seseorang terdengar dikejauhan.
Langkahnya
terhenti berusaha mencari sumber suara. Halaman sekolah masih tampak ramai.
Beberapa siswa masih memilih tinggal disisi halaman sementara sisanya kembali
ke kelas dengan menyusuri koridor-koridor gedung.
Matanya
langsung tertuju pada sosok pemuda berseragamkan putih dan celana panjang
abu-abu. Feli segera dapat mengenali sosoknya kemudian senyum kecil tersimpul
dibibir.
“Kak
Angga!” seru Feli seraya berlari menghampiri pemuda yang dipanggilnya Angga.
“Bagaimana
hari pertamamu?” tanya Angga
“Lumayan,
Kak! Kakak sendiri bagaimana?” jawab Feli dengan sikap manja.
Angga
tersenyum lembut pada Feli. Terlihat jelas rasa sayang yang dipancarkan lewat
kedua matanya pada gadis yang berdiri dihadapannya.
“Baguslah,”
ucapnya seraya mengacak-acak rambut Feli. “Ini bukan hari pertamaku, jadi
menurutku biasa saja.”
“Ah,
kakak ini!” elak Feli. Gadis itu segera menepis jauh-jauh tangan Angga yang
berada dikepalanya. “Aku sudah SMA. Sudah besar, jadi kakak jangan bersikap
seperti ini, ya, di depan teman-temanku.”
Angga
tertegun sesaat kemudian tersenyum kecil. Senyum yang dipaksakan. “Oh, ya. Kamu
sudah besar,” sahutnya.
“Sudah,
ya. Aku mau ke kelas dulu.”
Angga
mengangguk seraya menatap sosok Feli menjauh. Secara tidak kasat mata, ia melihat
tembok diantara dirinya dan Feli. Hatinya perlahan terasa perih. Perlahan namun
pasti, ia pasti akan kehilangan Feli. Gadis yang mulai tumbuh dewasa dan
menjauh dari kehidupannya.
***
Buah-buah
mangga yang hampir masak seakan memanggil untuk dipetik. Angga pun segera
memanjat pohon mangga yang tertanam dihalaman rumahnya kemudian memetik salah
satu diantaranya.
“Huaaa...
Mama...”
Angga
tengah asik memakan buah mangga langsung diatas pohon. Perhatiannya segera
teralih pada suara tangisan yang didengarnya. Terasa tak jauh. Angga kecil pun
celingak-celinguk mencari sumber suara dan menemukan seorang gadis kecil tengah
menangis di depan pintu rumahnya.
Ia
tak melihat ada orang yang membukakan pintu untuk gadis tadi. Tanpa basa-basi
lagi, Angga melompat dari pohon kemudian menghampirinya.
“Kamu
kenapa?” tanya Angga heran.
Gadis
itu hanya menatapnya dengan mata penuh air mata kemudian melanjutkan
tangisannya kembali. Angga pun bingung. Ia mengintip ke dalam rumah lewat jendela dan tak menemukan siapapun di
dalamnya. Hanya perabotan rumah dan sebuah lampu yang menyala di tengah
ruangan.
“Kemana
Mama-mu?” tanya Angga lagi.
Tangisan
gadis tadi terdengar makin keras. “Mamaaaaa...”
Angga
bingung. Ia ingin menolong gadis tadi namun tidak tahu harus melakukan apa.
Dilihatnya mangga yang digenggamnya sedari tadi. Dengan polosnya, Angga
menyodorkan mangga ditangannya pada gadis tadi.
“Ini
buat kamu,” ujar Angga.
Tangisan
anak tadi sekejap terhenti. Diraihnya mangga dari Angga, “Terima kasih.”
Angga
pun terduduk disebelah anak tadi. “Aku Angga, kamu siapa?”
“Aku
Feli.” jawab gadis itu disela-sela tangisnya. “Mamaku pergi, aku ditinggal
sendirian.”
“Pergi
kemana?” tanya Angga lagi.
“Aku
tadi main di depan. Mama sudah melarang tapi aku tetap ingin main. Aku ingin
mengambil mangga itu...” ujar Feli kecil seraya menunjuk pohon mangga milik
Angga.
“Oh,
kamu mau mangga ini. Mau ku ambilkan?”
Dengan
penuh bersemangat, Angga segera berdiri bermaksud mengambil mangga.
“Jangan
pergi...” pinta Feli.
Feli
meraih celana pendek Angga dan menghentikan langkahnya.
Angga
menatap mata sedih Feli dengan iba. Ia pun memutuskan untuk kembali duduk di
sebelah Feli.
“Ya,
aku tidak akan pergi. Kamu tenang saja, ya...”
***
“Kak
Angga!!” teriak Feli dari kejauhan.
Suara
Feli menggema diantara tembok-tembok koridor gedung sekolah. Diikuti pandangan
heran para siswa yang tengah berdiri disisi koridor sembari mengobrol atau
sekedar kumpul. Gadis itu berlari menghampiri Angga yang langsung menoleh
padanya. Ia memandang Angga penuh rasa sayang layaknya seorang adik.
“Ada
apa?” tanya Angga. “Bukannya kamu bilang untuk tidak dekat-dekat denganmu
selama di sekolah?”
Feli
pun langsung cemberut. “Kok begitu sih? Aku kan mau cerita.”
Tawa
renyah Angga segera menyambar sesaat kemudian. Ia tahu kakaknya tidak mungkin
marah padanya karena hal kecil. Senyumnya pun kembali terkembang.
“Aku
punya berita bagus!” ucap Feli bersemangat. Hatinya berdebar begitu kencang
seperti orang yang akan menyatakan cinta. “Aku jadian sama Robi. Hebat, kan!”
Senyum
Angga sekejap menghilang. “Kenapa Robi? Tidak, kamu tidak boleh jadian dengan
Robi!”
Darr!
Seperti
mendengar suara petir ditengah siang bolong, hati Feli sekejap sakit. Ia tak
menyangka akan menerima balasan yang tidak diinginkan keluar dari mulut Angga,
seseorang yang sangat berarti baginya.
“Kenapa,
Kak?” tanya Feli lirih.
“Ia
tidak baik, Feli. Playboy kelas kakap!”
“Kakak!”
bentak Feli kesal. “Berhenti bersikap protektif padaku!”
Suara
Feli terdengar seantero koridor hingga siswa lain menatap mereka penuh tanya.
Ia tahu Angga sangat menyayangi dan melindunginya seperti adik sendiri, namun
kini dirinya telah dewasa. Sudah SMA!
“Feli,
ini bukan sekedar protektif...” jelas Angga.
“Sudahlah,
Kak!” sergah Feli. “Aku pergi dulu!”
Kata-kata
Feli seakan terdengar seperti ucapan perpisahan bagi Angga. Ia menatap punggung
Feli yang bergerak menjauh. Pikiran serta tindakkannya tidak cukup cepat untuk
menghentikan. Pemuda itu menyadari akan kesalahan ucapannya pada Feli. Gadis
itu pasti membencinya. Pasti!
***
“Robi...
Kamu kemana, sih?”
Feli
mengeluh sepanjang hari saat Robi tak kunjung dapat dihubungi. Sudah seminggu
lebih Robi menghilang tanpa kabar. Tak terlihat di sekolah dan sulit dihubungi.
Ia
melenggang menyusuri koridor sekolah melewati ruang kelas Robi. Rasa penasaran
mendorongnya untuk mengecek ke dalam kelas Robi. Tak ada. Hanya ada sekumpulan
siswa dipojok ruangan serta kumpulan para siswi yang bergosip ditengah ruang
kelas. Matanya terkaget saat pojok ruangan lainnya.
Robi
tengah bercakap mesra bersama dengan seorang siswi yang tak dikenalnya. Tawaan
serta candaan yang tercipta seakan menegaskan hubungan keduanya.
“Robi!”
panggil Feli menahan kesal.
Robi
dan siswi tadi terkejut melihat Feli. Tanpa basa-basi lagi, Feli menghampiri
kemudian menampar Robi keras-keras.
“Dasar
playboy! Pergi saja kamu ke laut!”
Ia
langsung berlari keluar kelas. Hatinya terasa sakit, anehnya bukan rasa sakit
karena dikhianati Robi melainkan perasaan kecewa karena pernah menghiraukan
perkataan Angga.
“Feli!”
teriak Angga terdengar dari kejauhan.
Feli
menghentikan langkahnya kemudian membalikkan badan. Ia melihat kakak
pelindungnya berdiri seraya menatapnya cemas.
“Kak
Angga...”
Feli
berlari meraih Angga dan memeluknya.
“Kamu
kenapa?” tanya Angga cemas.
Feli
menggeleng. “Tidak apa... Aku senang melihat kakak.”
***
Feli
menyeruput kopi panas miliknya secara perlahan. Ia menatap Angga yang baru
masuk ke dalam cafe dan berjalan
menghampiri meja miliknya.
“Kakak
darimana?”
Wajahnya
sekejap terkejut saat melihat lebam dibibir serta pelipis Angga.
“Kakak
kenapa?” tanya Feli.
“Tak
apa. Aku hanya memberi pelajaran pada orang yang membuat adikku menangis.
Itukan tugas seorang kakak...” jawab Angga lembut.
“Kakak...”
sahut Feli lirih.
Angga
menarik kursi diseberang meja Feli kemudian menatap gadis itu lekat-lekat.
“Aku
sebenarnya tidak ingin mengatakan ini karena aku melihat kamu bahagia bersama
Robi. Namun mengingat kejadian hari ini, aku rasa harus memberitahumu.”
Feli
menatap mata Angga yang menatapnya penuh keseriusan.
“Apa,
Kak?” tanya Feli penasaran.
“Aku
akan pindah ke Bandung meneruskan kuliahku disana.”
***
“Feli,”
panggil seseorang membuyarkan lamunannya.
Feli
menoleh pada asal suara dan melihat Angga berdiri diambang pintu kamarnya. Setelah
dua tahun berlalu, Feli memutuskan menyusul Angga ke Bandung.
“Ah,
maaf, Kak.”
“Kamu
lagi lihat apa sih?” tanya Angga seraya menghampiri Feli.
Feli
mengeluarkan selembar kertas dari dalam kotak dan berisikan foto Angga yang
mengenakan baju kelulusannya dari universitas bersama dengan Feli.
“Aku
bersyukur memiliki kakak sepertimu, seseorang yang lebih dari seorang kakak.”
“Memangnya
apa yang lebih dari seorang kakak?” goda Angga.
“Haha,”
tawa Feli. “Bagaimana jika seorang kekasih?” canda Feli.
Angga
terdiam. Tak ada balasan dari laki-laki itu.
“Baiklah...”
jawab Angga singkat.
Sekejap
Feli ingin melonjak kegirangan mendengar jawaban singkat Angga.
“Aku
menyayangimu, Feli...” ucap Angga lembut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sila komentar. Komentarmu adalah penyemangat untuk tulisan berikutnya! See ya! ^^