Disclaimer
Cerpen ini diciptakan dimasa awal-awal jatuh cinta pada kepenulisan cerpen dan novel. Gaya tulis dan diksi yang terbatas, tidak menjadi penghalang dalam menyampaikan perasaan. Selamat membaca...
***
Jatuh cinta.
Sebuah kata yang singkat namun memiliki sejuta arti dan makna bagi yang
merasakannya. Merasakan jatuh cinta? Tampaknya itu kalimat yang langka dalam
hidupku. Apa itu jatuh cinta? Perasaan suka pada seseorang yang berlawanan
jenis? Atau cuma perasaan yang bisa dirasakan oleh semua orang untuk sesaat,
setelah itu berpisah. Entah apa saja makna yang mengitarinya, namun aku ingin
merasakannya. Jatuh cinta.
Sebagai seorang
siswi di salah satu sekolah menengah atas di Jakarta, rasanya belum pernah pacaran
adalah hal tabu yang bagi sebagian orang terasa aneh. Hari gini belum pernah pacaran? Begitulah kata teman-teman seusia
denganku. Mereka bahkan pernah dalam satu hari berpacaran dengan orang yang
berbeda tanpa ketahuan satu sama lain. Bagiku itu bukanlah cinta. Itu hanya
sebuah obsesi memiliki seseorang tanpa ada perasaan mendalam.
Selain alasan
diatas, rasanya menjadi siswi ‘tomboy’ juga menjadi salah satu alasan kenapa
aku belum juga jatuh cinta. Aku ingin jatuh cinta tapi pada siapa? Semua anak laki-laki
yang ada di sekolahku begitu akrab denganku. Bahkan mereka pun hampir ada yang
lupa bahwa aku seorang perempuan. Aku pun memperlakukan mereka seperti itu. Aku
begitu dekat dengan mereka sehingga aku merasa seperti laki-laki. Hanya di
saat-saat tertentu saja aku sadar akan statusku.
Pernah ada satu
waktu dikala seorang siswa pindahan masuk ke sekolah kami. Penampilannya yang
begitu nyentrik dengan gayanya yang
khas anak muda jaman sekarang membuatnya begitu cepat populer di sekolah. Ia
pun begitu dipuja oleh para siswi disekolahku. Sebagai seorang siswi seharusnya
aku termasuk juga di golongan para siswi yang memuja siswa baru tersebut.
Sayangnya aku tidak termasuk di dalamnya. Sepertinya aku masuk ke dalam
golongan para siswa yang iri akan penampilan siswa pindahan yang seketika
menarik perhatian seluruh siswi di sekolah.
Mengingat
tingkahku yang ‘tomboy’, orang-orang banyak memanggilku Letom alias Lena
Tomboy. Saat diberikan nama panggilan yang aneh seperti itu tidak membuatku
marah malah aku senang. Aku otomatis menjadi siswi paling populer dengan
kategori populer yang jarang terjadi. ‘Tomboy’.
Namun menjadi
tomboy tidak selalu menyenangkan, banyak siswi-siswi yang kadang terlihat
bergerombol tiba-tiba berbisik-bisik tidak jelas saat aku berjalan melintas di
hadapan mereka.
‘Dia cewek atau
cowok sih? Lihat jalannya seperti cowok, penampilannya juga. Sayangnya pakai
rok sih...’
Setiap hari
selalu saja ada yang berkata seperti itu padaku. Maka dari itu aku butuh yang
namanya Jatuh Cinta. Kemungkinan kedua kata tersebut membuatku berubah sedikit
lebih feminim ataupun lebih kalem dari biasanya. Bukan berarti aku kekurangan
cinta dari kedua orang tuaku, aku hanya butuh Cinta dari lawan jenis yang kata
orang bisa membuat mabuk kepayang.
Tapi dimana??
Dimana??? Dimana????? Seruku dalam hati seraya menirukan lagu Ayu Ting-ting.
Aku terus berpikir sambil terus menendangi batu-batu yang terlihat di depanku
saatku dalam perjalanan pulang ke rumah. Semakin dipikirkan, aku rasa semakin
kesal. Kenapa aku kesal? Karena tidak ada yang mau denganku? Aaaahhh....!
Aku frustasi lalu
menendang batu kecil yang terlihat di depanku keras-keras. Buk! Suara dua benda yang saling mengadu lalu disertai suatu bunyi.
“Aduh...”
Aku menengadah
melihat yang terjadi dan tampak seorang pemuda berdiri di depanku seraya
mengusap-usap kepalanya. Bisa ku tebak bahwa kepalanyalah yang berhasil aku
timpuk dengan batu hasil tendanganku. Perasaan bersalah pun segera menyergapku.
Aku segera berlari menuju pemuda tersebut lalu berkali-kali meminta maaf. Ku
lihat pemuda itu masih terus memegangi kepalanya dan tampak bekas timpukkannya
berwarna merah. Aku semakin panik, takut dimintai ganti rugi saat itu. Ia ingat
bahwa dompetnya hanya tersisa lima ribu rupiah untuk persiapan ongkos besok pagi.
Tapi bila orang itu minta ganti rugi, berapa yang harus diganti dengan uang
yang tersisa di dompet.
“Maaf, mas...”
seruku lirih. “Saya tidak sengaja, maaf mas...”
Orang tadi
melepas tangannya yang memegangi kepala lalu menunjuk-nunjuk pada diriku. “Kamu
pikir saya ‘mas’ mu? Memangnya dengan maaf bisa mengobati luka saya? Jawab!”
Aku terkejut saat
dibentak. “Ma... Maaf mas... Saya tidak tahu...”
“Tidak tahu?
Alasan!” pemuda tadi mendekat lalu berkata lirih padaku. “Kau harus ganti rugi,
kalau tidak saya akan laporkan kamu ke...” ia melirik ‘bet lokasi’ sekolahku.
“Ke Kepala Sekolah SMA Nusa Bangsa dan minta ganti rugi padanya. Saya pastikan
kamu pasti akan dihukum lebih!”
Aku terbelalak.
“Jangan mas, saya ganti rugi saja. Berapa?” tanyaku.
Pemuda tadi
terdiam lalu menatapku dari atas kepala hingga ujung kaki. “Saya tidak butuh
uangmu, saya butuh kamu.”
Aku kembali
terbelalak. Apa-apaan ini, memangnya aku barang bisa di pakai-pakai?!
“Maksudnya apa mas?”
“Jangan negatif
dulu, saya butuh kamu buat jadi assisten saya! Hanya itu, bagaimana? Deal?”
Aku terbelalak
lagi, kali ini pertanda senang. Ternyata, ganti ruginya hanya itu, gampang...
“Baik, berapa lama memangnya?”
“Tiga bulan saja.
Baiklah, besok pagi kita bertemu di sekolah dan tugasmu dimulai saat itu juga.”
Aku memekik
senang dalam hati. Ternyata orang ini mudah, baik hati dan tidak sombong.
Untunglah...
Esok paginya, aku
masuk ke dalam kelas setelah bel berbunyi lalu masuk Bu Rika dan seorang pemuda
yang wajahnya sudah tidak asing bagiku. Bu Rika memperkenalkannya sebagai guru
Bahasa Indonesia yang menggantikan Ibu Rahma yang cuti melahirkan. Pemuda tadi
memperkenalkan diri dan namannya ialah Julius, biasa dipanggil Pak Juli.
Wajahnya masih muda dan ia merupakan guru yang baru lulus juga dari
universitasnya.
“Baik Pak Juli,
selamat dimulai pelajarannya.” Seru Bu Rika lalu meninggalkan ruangan.
Setelah berterima
kasih, Pak Juli langsung menaruh bukunya dengan keras sehingga mengagetkan
seluruh isi kelas. Dengan suaranya yang mantap dan keras ia memberikan
instruksi pada seluruh siswa.
“Buatlah sebuah
karangan bebas dan kumpulkan itu sekarang! Cepat!”
Seluruh kelas
terkejut menyaksikan guru pengganti mereka yang tiba-tiba menjadi kasar. Ia
memanggil murid satu-persatu untuk mengetahui nama serta wajah murid barunya.
Tapi, ia melewatkan namaku yang jelas-jelas namaku berada di tengah-tengah dan
paling mudah. Lena! Just it!
Setelah menunggu
namaku di panggil, aku segera mengangkat tangan lalu memprotees. “Saya belum di
panggil pak...”
Pemuda bernama
Juli tadi menoleh ke arahku lalu mencari nama. Lena Tanuwijaya? Seru Bapak Jul yang kemudian hanya dibalas
senyuman kemudian ia kembali ke mejanya. Aah, kata-kata tadi harusku cabut! Ternyata
orang ini mudah, baik hati dan tidak sombong. Tidak! Kata-kata ini tidak cocok untuk Pak
Juli........!
Rupanya Pak Juli
ingat akan perjanjian kami sehingga setelah pulang sekolah, ia menyuruhku
mengumpulkan buku lalu membawanya ke ruang guru. Begitu tiba di ruang guru, ia
menyodorkan sebuah tas besar dan menyuruhku memasukkannya. Ia memerintahkan
untuk pulang bersama saat pulang nanti karena ia merasa tidak dapat membawa tas
itu sendirian dengan motor. Mengingat perjanjian kami, akhirnya aku pun
menyetujui perintah Pak Juli.
Hari-hari terus
berganti, Pak Juli masih terus menerus memberikan tugas-tugas yang seharusnya
masih bisa ia kerjakan sendiri. Benar-benar merepotkan, aku kesal dan mengeluh
dalam hati. Namun lama-kelamaan aku jadi terbiasa. Terbiasa membawa setiap
tugas setelah pelajarannya, terbiasa pulang bareng bersamanya hanya karena
setumpuk buku tugas dan terbiasa diberi perintah ini-itu dari Pak Juli.
Aku pun merasa
aneh, Pak Juli yang semakin melembut atau aku yang terlalu lembek sehingga
merasa setiap perhatiann yang diberikan Pak Juli serasa perhatian yang
diberikan seorang laki-laki kepada perempuan.
Hampir tiga bulan
Pak Juli menggantikan Ibu Rahma dan ini merupakan minggu terakhirnya. Entah
kenapa, aku ingin sekali hari-hari ini tidaklah cepat berlalu. Aku masih ingin
melihat Pak Juli. Aku masih ingin membantunya membawa buku ke ruang guru dan
masih ingin pulang bersamanya. Tapi aku harus sadar, semua hanyalah perintah
dari seorang guru. Tidak boleh ada pemikiran lebih.
Tunggu, barusan
apa yang aku katakan? Aku menginginkan Pak Juli...? What? Apa aku sudah jatuh
cinta? Pada Pak Juli, guru yang selalu menyuruhku ini dan itu tanpa henti?
Tapi... memang ini yang aku rasakan. Rupanya doaku pun terkabul. Akhirnya aku
bisa merasakan jatuh cinta. Masalah aku akan mengatakan pada Pak Juli atau
tidak, mungkin itu yang harus aku pikirkan berjuta-juta kali. Aku ingin jatuh
cinta dan akhirnya... aku bisa merasakannya. Aku jatuh cinta pada Pak Juli...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sila komentar. Komentarmu adalah penyemangat untuk tulisan berikutnya! See ya! ^^