7 Juni 2015

Tamu

Disclaimer
Postingan ini masih satu rangkaian dengan cerpen sebelumnya. Dalam mengikuti seleksi kompetisi tempo dulu dan sekarang dibagikan agar banyak pecintanya. Happy reading...

Ting tong... Ting tong...

Suara bel rumah berbunyi di pagi buta saat hari liburku berlangsung. Dalam hati bertanya mengapa tidak ada yang membuka pintu? Aku cuek dan suara bel terus berbunyi. Siapa sih pagi-pagi sudah bertamu dirumah orang, keluhku. Akhirnya aku bangkit juga dari tempat tidurdan bergegas menuju pintu rumah. Aku menemukan secarik kertas memo diatas meja makan yang ternyata dari mama. Ia menulis pesan bahwa dirinya sedang pergi ke pasar. Pantas saja tidak ada yang membuka pintu, gumamku dalam hati.

Aku segera menghampiri pintu rumah dan membuka handelnya dengan perasaan malas. Begitu terbuka, tampak seorang laki-laki sedang berdiri memunggungi pintu. Laki-laki itu mengenakan kaos oblong berwarna merah dan kedua tangan diselipkan di saku celananya.

“Maaf, mas. Cari siapa?” tanyaku heran.

Laki-laki tersebut tidak menjawab pertanyaanku dan tidak bergerak sedikitpun. Aku pun semakin penasaran saat menyadari sosoknya seperti tidak asing lagi bagiku.

“Maaf, penagih hutang, ya?” ujarku kemudian. Laki-laki tadi tetap tidak menjawab. Rasa emosi mulai menghinggapiku saat melihat laki-laki tadi yang tidak kunjung menjawab pertanyaanku. “Hey mas, kalau ditanya jawab dong. Saya susah payah bangun supaya bisa bukain pintu buat mas tapi malah diam seperti patung begini!”

Gerutuku rupanya bermanfaat juga. Laki-laki tadi mulai bergerak dari tempat ia berdiri dan membalikkan badannya. Begitu wajahnya menatapku, sesaat aku merasakan degup jantungku berhenti tiba-tiba. Rasa shock dan tidak percaya bercampur jadi satu. Laki-laki itu adalah DIA... DIA... Dia yang selalu datang dimimpiku, bahkan beberapa saat lalu aku masih memimpikannya. 

Tapi sekarang, dia ada dihadapanku, didepan mataku! Astaga!

Tanganku menutup mulutku yang reflek menganga menatap Rendi, kakak kelas yang selama ini hanya bisa aku lihat dari jauh karena banyak penggemarnya. Aku menyukainya karena wajahnya yang manis dan prestasinya yang luar biasa disekolah. Dapat ku lihat, Rendi tersenyum melihat aku yang terbelalak kaget saat melihat dirinya berdiri di depan rumahku.

“Kak Rendi...” seruku pelan, sepelan suara angin.

“Hai Andin, apa kamu sudah sarapan? Aku mau mengajakmu sarapan bersama.” balas kak Rendi kembali tersenyum menatapku.

Oh, astaga! Apa yang terjadi hari ini? apa ini tanggal keramat? Keajaiban apa yang terjadi sehingga Kak Rendi yang terkenal dingin itu mengajakku sarapan pagi. Lagi-lagi mulutku menganga menanggapi ajakan Kak Rendi yang tiba-tiba. Buru-buru aku menyadarkan diri lalu menjawab pertanyaan Kak Rendi dengan tergagap.

“Be... Belum kak... Ki... Kita sarapan bersama?”

Senyum Kak Rendi tiba-tiba pecah menjadi tawa mendengar jawabanku. Seketika wajahku berubah menjadi merah seperti udang rebus. Dimana aku harus menyembunyikan malu ini??? pekikku dalam hati.

“Mari Andin, kita sarapan bersama di depan komplek rumahmu. Tadi aku melihat ada penjual nasi uduk disana.” Ajak Kak Rendi lagi. Ia lalu meraih tanganku mengajakku keluar rumah.

Seluruh tubuhku bergetar dan perutku berguncang hebat disertai rasa sakit kepala yang luar biasa. 

Astaga, ada apa lagi ini? Ini saat yang penting, kenapa harus sakit? Oh, ya. Semalam aku kehujanan dan lupa minum obat. Aku menatap Kak Rendi penuh permintaan. Namun lama kelamaan pandanganku kabur dan bisa kurasakan tubuhku terjatuh ke lantai disertai teriakkan Kak Rendi.


Betapa malunya diriku. Pingsan saat sang pujaan hati mengajak sarapan bersama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sila komentar. Komentarmu adalah penyemangat untuk tulisan berikutnya! See ya! ^^