Ini kisah yang lupa gue ceritakan beberapa hari menjelang gue resign. Ada hal yang buat gue senang, merasa kehilangan sampai sakit kepala gara-gara hal yang tidak gue duga terjadi. Kalau boleh jujur, kok kisah gue agak-agak mirip sama staff yang juga resign di bulan yang sama, ditahun sebelumnya. Mungkin jodoh karena tidak dipungkiri gue memang masuk lewat doi.
Nah, back to the topic. Ceritanya, gue mengajukan resign itu benar-benar diakhir bulan Mei 2014. Jadi, gue masih ada jatah waktu 1 bulan untuk beresin semua kerjaan termasuk serah terima ke orang baru kelak.
Untuk masalah kerjaan, dua minggu pertama sebelum resign, masih berasa jiwa di dalam kerjaan. Dua minggu terakhir, apalagi ditambah orang baru yang akan gantiin gue sudah ada, makin kepengen gue buru-buru keluar. Ditambah lagi, kerjaan sudah diserah terimain, terus tinggal leha-leha sambil ucapin perpisahan kesana-sini. *eaaa..
Masalah baru terjadi sekitar 3 hari sebelum hari H. Tanda-tanda anak baru akan cabut itu sudah kecium. *ikan kali kecium...
Baru kejadian, pas banget hari H gue keluar. Jujur, gue shock. Apalagi yang gantiin posisi gue itu seorang sarjana, loh. Seseorang yang sudah berkeluarga juga. Seseorang yang harusnya mengerti apa arti tanggung jawab. Tapi, ya sudah lah ya. Kekesalan gue hari itu sudah cukup menguap.
Dibalik masalah, gue menemukan adanya kebersamaan. Memang sih, gue akui kalau disana sudah aman dan nyaman. Ditambah suasana kerja yang lumayan. Namun, balik lagi ke passion.
Bulan Juni, kebetulan atasan gue ultah. Pas banget begitu doi di kasih surprise sama kita-kita, gue senang setengah mampus. *loh kok jadi gue?
Iya, paling tidak gue masih bisa merayakan perayaan bersama mereka semua. Membuat ricuh, bahkan teriak sana-sini seperti biasanya. Hal-hal yang belum tentu bisa gue lakuin ditempat baru nanti. Itu pikir gue dulu.
Juga, tentang supervisor gue yang dihari terakhir justru baru nangis-nangisan sama gue sampai menjelang gelap. Lagi, dengan alasan yang hampir mirip, "ntar nggak ada lagi yang bla bla bla..."
Intinya, kebiasaan yang sudaah terjadi akan hilang begitu saja, karena tanpa kehadiran gue.
Kalau mengenang kisah-kisah diatas, rasanya pengen balik lagi terus menikmati suasana keakraban yang ada di masing-masing orang disana. Sayang, gue nggak mau mengenang kerjaan serta tekanan yang ada disana, jadi gue memilih passion gue yang sekarang.
Kenapa?
Love what you do, Do what you love.
Jadi, mau semesra, seakrab atau seenak apapun suasana disana tapi rasa cinta gue akan kerjaan itu sendiri sudah tidak ada,
Mengenang boleh. Merindukan suasana boleh. Tapi kalau dikasih kesempatan kembali lagi, mungkin gue akan berpikir seribu kali lebih banyak dibanding waktu memikirkan keluar dari sana.
Memilih pekerjaan yang baik memang sama dengan memilih pasangan hidup yang baik juga, sama-sama harus dibangun di bawah pondasi cinta. Semoga sukses dengan pilihan terbaiknya, mba Luiza. :)
BalasHapusSalam hangat,
Sandra Dewa http://sandradewa.blogspot.com/
Kerja apapun sebetulnya enak gak enaknya tergantung kita dan patner kita sama satu lagi bos kita.. semisal kita enak sama temen satu kantor tapi sama bos enggak .. bakalan berabe dah.
BalasHapusYang namanya perpisahan pasti banyak kenangan yang tertinggal di dalamnya :)
BalasHapus@Sandra Dewa: Thanks buat doanya yaaa... Saya udah mampir di blog mu looh.. keren!
BalasHapus@MasMimow: Setujuh banget tuuhh!!
@Fikri: Iya nih... jadi agak sedih gitu kalau baca lagi, tapi agak scary kalo ingat-ingat. :D