***
“Metha, cepat turun! Kamu sedang apa dikamar?”
Teriakkan Mama terdengar memekakan telinga. Metha sempat
menutup telinganya sesaat lalu kembali menyibukkan diri dengan tumpukkan
barang-barang yang tak beraturan di dalam lacinya. Kotak-kotak berbagai ukuran berhasil
dikeluarkannya dari dalam laci lalu membongkar isi didalamnya.
Diantara banyaknya tumpukkan kardus besar dan kecil, matanya
tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak berwarna merah jambu yang agak memudar dan
mulai usang warnanya. Ia melihat bekas lelehan lilin yang telah mengering
diatas tutup kotak.
Rasa rindunya memaksa Metha membuka kotak yang selama ini
disimpannya dalam-dalam. Tak hanya dalam lemari, melainkan di dalam hatinya.
Ups, kenangan kotak itulah yang disimpannya. Disimpan pada lubuk hati terdalam
miliknya.
Metha memandang kotak merah jambu kemudian sadar bahwa kotak
itu dulunya merupakan tempat diletakkannya tas tangan mungil.
“Tas tangan?” gumamnya pelan.
Tangan Metha tak sabar lagi menunggu. Gadis itu menarik ke
atas tutup kotak.
Jantungnya sekejap terasa berdegup kencang. Ia ingat betul
isi kotak tadi dan melihatnya kembali seakan membawanya lari menuju masa-masa
dimana kotak itu menemani hari-harinya.
***
“Pagi anak-anak, hari ini kita akan praktek membuat hiasan
dengan kain dan jarum.” seru Bu Rusdy –guru tata busana yang terkenal paling
cuek dan paling pelit nilai.
Seruan Bu Rusdy langsung disambut keluhan dari para siswa
pria yang mengaku tidak bisa menjahit. Metha menoleh pada Andri, siswa yang
paling gigih memprotes tugas, kemudian sebuah senyum tanpa sadar tersimpul dibibir
kecilnya.
“Hei, Metha!” panggil Lina –teman sebangku Metha—dan
langsung membuyarkan khayalannya.
“Kenapa?” tanya Metha ogah-ogahan.
“Kenapa bengong? Tuh, Bu Rusdy sudah mulai bagiin kain,”
terang Lina seraya menunjuk pada arah sang guru busana yang mulai berkeliling.
“Ah... Aku bingung,” keluh Metha kemudian.
“Bingung kenapa?”
“Aku tidak terampil membuat jahitan...” tambah Metha seakan
meminta petunjuk.
“Jangan patah semangat,” seru Lina menyemangati. “Pelan-pelan
saja, kamu pasti bisa!”
Metha menghela nafas pasrah. Semangat yang ditularkan Lina
tak sanggup menjalari gadis itu. Ia tahu betul kemampuan Lina dalam hal
jahit-menjahit. Bu Rusdy pun sudah mengakuinya.
***
Bel istirahat sudah berbunyi sejak tadi. Metha bergegas
keluar kelas dan berlari menuruni anak tangga. Tangannya membawa sebuah kotak
kardus seukuran gelas. Langkahnya terhenti dipertengahan anak-anak tangga. Metha
duduk di salah satu anak tangga lalu membongkar isi kotak miliknya.
“Aku pasti bisa!” gumamnya sendiri menyemangati.
Metha langsung menyerbu kain berwarna kuning langsat dengan
tusukkan jarum. Pikirannya terpaku pada jahitan pertama miliknya.
“Hei!”
Seseorang mengejutkan Metha hingga menjatuhkan kainnya. Ia
menatap si pemilik suara lalu melihat Andri.
Laki-laki itu segera duduk di
sebelah Metha tanpa permisi lagi.
“Mana jahitannya?” tanya Andri. Matanya mengarah pada kain
Metha yang terjatuh di anak tangga berikutnya. “Wah... Bagus, ya!”
Metha meraih kain miliknya. “Biasa saja...”
“Nanti kalau sudah jadi buatku, ya!” pinta Andri.
Sekejap perasaan Metha seakan berbunga-bunga tak terperi.
Andri sendiri yang meminta jahitan miliknya. “Baiklah...”
***
“Metha!”
Suara Mama menghentikan putaran kenangan dalam ingatan Metha. Ia mendapati dirinya tengah menggenggam kain bermotifkan sekeranjang buah. Kain yang tak pernah diberikan pada pemintanya yang lebih memilih kain milik temannya, Lina. Mengendap lama dalam kotak merah jambu bekas tas tangan milik Metha. Mengubur perasaannya pada Andri.
Suara Mama menghentikan putaran kenangan dalam ingatan Metha. Ia mendapati dirinya tengah menggenggam kain bermotifkan sekeranjang buah. Kain yang tak pernah diberikan pada pemintanya yang lebih memilih kain milik temannya, Lina. Mengendap lama dalam kotak merah jambu bekas tas tangan milik Metha. Mengubur perasaannya pada Andri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sila komentar. Komentarmu adalah penyemangat untuk tulisan berikutnya! See ya! ^^